PERJALANAN ke India adalah impian banyak orang.
Pada tahun 2011, saya naik KA Sritanjung dari Jogja ke Jember. Di samping saya duduk seorang “solo traveller” cewek bermata biru, dari Lyon, Perancis. Profesinya guru SMA. Di sepanjang perjalanan kami ngobrol asyik. Sebelum backpacker-an ke Indonesia, ternyata dia sudah empat tahun berturut-turut pergi ke India. Saya heran, “Empat tahun berturut-turut? Apa yang istimewa?” “India sangat eksotis,” jawabnya. “Makanannya kotor dan selalu bikin perut saya sakit. Tapi saya selalu ingin ke sana lagi”.
Sejak saat itu saya mengajak istri saya untuk mulai menabung agar bisa pergi ke India. Wah, berapa ya kira-kira gaji seorang guru SMA di Perancis, sehingga setiap liburan musim panas bisa nglencer ke mana saja?
Walt Whitman, salah seorang penyair Amerika favorit saya, pada tahun 1870 menulis sebuah puisi berjudul “Passage to India”. Puisi ini mengilhami seorang penulis Inggris, E. M. Forster, yang pada 1924 menerbitkan sebuah novel berjudul “A Passage to India”. Novel tersebut berlatar belakang gerakan kemerdekaan India awal 1920-an. Oleh majalah Time, novel ini dimasukkan ke dalam daftar “100 Novel Sepanjang Masa”. Pada tahun 1960 novel itu digubah ke dalam bentuk drama dan dipanggungkan oleh Santha Rama Rau, dengan judul yang sama. Selanjutnya, berdasarkan naskah drama tersebut, pada 1984 David Lean memfilmkannya sebagai drama epik sejarah. Judulnya tetap “A Passage to India”.
Perjalanan ke India!
Di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, sebelum pesawat berangkat, Nara bertanya pada saya, “Apa yang paling Bapak ingin lakukan di India nanti?” Saya menjawab dengan mantap, “satu, nonton film India di India; dua, mampir ke kampung yang betul-betul kampung”.
Benar saja, begitu sampai di Pink City dan masuk kamar hotel, hal pertama yang saya lakukan adalah nyetel TV: nonton film India di India. Sungguh, sudah sejak lama saya membayangkan hal ini, seperti apa sensasinya dibanding nonton film India di Indonesia.
Bagaimana hasilnya? Wah, ternyata saya hanya bertahan 10 menit saja. Saya tidak bisa mengikuti ceritanya karena tidak ada terjemahan. Akhirnya saya hanya memutar video klip lagu-lagu India. Ketemu lagi deh dengan Arjit Singh, Atif Aslam, Sonu Nigam, Shreya Ghoshal, Armaan Malik, dan penyanyi-penyanyi top lainnya.
Pada hari pertama kami tiba di Jaipur bertepatan dengan “Pengajian Akbar Tahunan”. Puluhan ribu kaum muslimin dari berbagai penjuru negara bagian Rajasthan akan berkumpul di kota ini selama 3 hari. Khotbah dan pembacaan ayat suci Al Qur’an terdengar melalui loud-speaker, berlangsung siang-malam, silih-berganti. Meskipun mayoritas penduduk di India beragama Hindu, jumlahnya mencapai 80%, namun pemeluk agama Islam cukup banyak juga, jumlahnya mencapai 15%.

Dahulu, pada 1876, Maharaja Ram Singh memerintahkan rakyat Jaipur mengecat seluruh bangunan di kota untuk menyambut Prince Albert of Wales yang akan berkunjung ke sana. Warna pink atau merah jambu dianggap sebagai simbol keramah-tamahan. Menurut saya sih, warna bangunan-bangunan itu bukan pink, tetapi merah bata/terakota (warna peach?). Tapi tidak apa-apa juga jika orang sana menganggapnya pink. Ilmu hermeneutika, yang biasa dipelajari para mahasiswa itu, kan memberi keluwesan dalam hal tafsir-menafsir.
Tidak ada sudut kota yang sepi di Pink City. Di mana-mana penuh orang. Ya, memang negeri ini berpenduduk terbanyak kedua di dunia, lebih dari 1,2 miliar. Seandainya tidak terpecah menjadi India-Pakistan-Bangladesh, sudah pasti India menjadi negara berpenduduk terbanyak di dunia.
Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, bentuknya bak istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Jangan keliru ya, bangunan megah ini hanyalah serambi belakang istana. Saya rasa, inilah serambi belakang terindah di dunia.
Hawa berarti angin. Itu sebabnya bangunan ini dijuluki the Palace of the Wind, alias Istana Angin. Dari lubang-lubang jendela tersebut angin berhembus, memberi kesejukan bagi para selir dan putri raja yang tinggal di sana.
Di kala senja, warna merah jambu Hawa Mahal berpadu dengan warna jingga matahari menjelang terbenam. Cantiknya luar biasa. Apalagi ketika lampu-lampu istana mulai dinyalakan.

Ada beberapa film Bollywood yang menjadikan lokasi ini untuk syuting. Salah satunya, yang saya ingat, film “Shuddh Desi Romance”, dibintangi Anil Kapoor dan Madhuri Dixit.
Banyak warga yang bikin kafe kecil di atap-atap gedung bertingkat, di seberang Hawa Mahal. Di sanalah para pengunjung, rata-rata wisatawan asing, duduk-duduk minum Masala Chai (teh-susu-rempah) sambil menikmati sunset. Cafe-cafe itu biasanya buka hingga pukul 9 malam.
Dari bawah terdengar klakson bersahutan tanpa henti, dan jalan utama di depan Hawa Mahal tampak padat, agak macet. Selain karena ruas jalan tidak cukup lebar, orang India cenderung seenak udelnya menyetir dan memarkir kendaraan.
Hawa Mahal dibangun pada 1799 atas perintah Maharaja Sawai Pratap Singh (memerintah pada 1778-1803, cucu Sawai Jai Singh pendiri Kota Jaipur), khusus untuk tempat bersantai para selir dan putri kerajaan. Arsiteknya bernama Lal Chand Ustad, mendesain bangunan megah dan rumit tersebut berdasarkan bentuk mahkota Dewa Khrisna. Dia memadukan gaya arsitektur Hindu Rajput dan Islam Mughal. Rajput adalah bangsa ksatria di India utara, sedangkan kekaisaran Mughal berada di India barat.
Inilah bangunan tertinggi di dunia yang didirikan tanpa pondasi. Bagian belakang istana yang terletak di jantung Kota Jaipur itu menggunakan material dasar batu pasir merah jambu. Pada dinding bangunan terdapat 953 jendela kecil yang disebut jhorokha, dihiasi ukiran rumit, kanopi, dan kubah kecil.
Di balik dinding Hawa Mahal itu terdapat Zenana, tempat tinggal khusus para selir dan putri raja. Dulu kaum perempuan kerajaan dilarang menampakkan diri di depan umum dan harus mengenakan cadar atau purdah.
Selain menjadi ventilasi istana, jendela-jendela kecil itu juga berfungsi sebagai tempat para perempuan istana bersantai menikmati pemandangan luar istana tanpa terlihat oleh rakyat. Dari tempat itu mereka dapat leluasa menyaksikan berbagai festival atau aktivitas warga Jaipur.
Saya pernah membaca buku tentang salah seorang permaisuri yang tinggal di tempat itu. Namanya Princess Gayatri Devi of Cooch Behar, atau Her Highness Maharani Devi Gayatri. Kisahnya sungguh indah, penuh perjuangan.
Area di luar kompleks istana merupakan surga para pelancong yang gemar berbelanja. Beragam jenis toko kecil berderet sepanjang jalan. Yang dijual pun bermacam barang, pernak-pernik yang biasa dibeli wisatawan untuk souvenir. Ya, sudah pasti sepulang dari tempat perbelanjaan ini saya harus terseok-seok membawa banyak bungkusan. Entah apa saja yang sudah dibeli Nara dan ibunya. Silahkan catat ya, area perbelanjaan ini bernama Badi Chaupal. Anda harus mampir jika pergi ke Jaipur, supaya terseok-seok seperti saya ketika pulang. (Dr. M. Ilham Zoebazary, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Baca juga:
Pink City, Eksotika dan Kemiskinan—The Journey to India 1
Sebuah Kampung di Pink City—The Journey to India 3
Taj Mahal, Monumen Cinta—The Journey to India 4
Mere Dil Mein Pyaar Hai: Sampai Jumpa Lagi, India—The Journey to India 5
Discussion about this post