“TAHUKAH Anda, bahwa permainan Ular Tangga diciptakan di India?”, begitu cerita si Mustaq, tour guide kami. “Penciptanya adalah seorang penyair bernama Gyandef, pada abad ke-13.”
Wah, itu sezaman dengan Ken Arok di Jawa.
Tapi bagi saya, yang terhebat tentang India adalah: negeri inilah tanah kelahiran epos besar Ramayana dan Mahabharata. Kedua karya agung ini bukan sekedar karya sastra biasa. Di dalamnya tertuang dasar-dasar peradaban yang selama berabad-abad telah dipraktikkan banyak bangsa. Di Indonesia, khususnya di Jawa, sejak era klasik kedua epos itu berkembang dengan baik. Sebagian orang Jawa bahkan beranggapan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam kedua epos tersebut, termasuk setting-nya, benar-benar ada di Pulau Jawa.
Dan khasanah kebudayaan India tidak hanya hebat di masa lalu. Dunia sastra modern India telah melahirkan sastrawan besar Rabindranath Tagore, yang pada tahun 1913 memperoleh Hadiah Nobel. Saya beruntung, di perpustakaan SMP dulu tersedia salah satu koleksi karyanya, “Gitanjali” (Nyanyian Tuhan), sehingga saya berkesempatan membacanya.
Di India, jika dapat berkomunikasi berbahasa Inggris, akan merasa nyaman blusukan ke mana saja. Memang, bahasa resmi India adalah bahasa Hindi. Tapi di seluruh penjuru negeri bahasa Inggris juga biasa digunakan. Maka tak heran jika India merupakan negara pengguna bahasa Inggris terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat.
Sebagai negara bekas jajahan Inggris, sudah sejak lama warga India belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Ini kasusnya berbeda dengan di Indonesia. Meskipun dulu dijajah Belanda, namun jarang ada rakyat biasa yang bisa berbahasa Belanda. “Kamu itu monyet, tidak pantas berbahasa Belanda,” begitu hardik orang Belanda pada Minke, si orang Jawa, dalam novel/film “Bumi Manusia”.
Wajarlah jika hanya beberapa gelintir saja orang Indonesia yang dulu menguasai bahasa Belanda, sementara hampir separuh penduduk India (lebih dari 500 juta orang) dapat berbahasa Inggris. Apalagi Pemerintah India sangat mendukung rakyatnya yang ingin belajar bahasa Inggris. Ada program subsidi untuk ini. Jadi, kalau warga India mau kursus bahasa Inggris, tidak perlu membayar. “Datang saja ke tempat kursus. Gratis,” kata Mustaq.
Di lingkungan akademik, demikian cerita Mustaq, berbahasa Inggris menjadi suatu kewajiban. Sejak di tingkat TK, proses pendidikan di India sudah berpengantar bahasa Inggris. Dapat dipastikan orang-orang yang bekerja di bandara, atau tempat-tempat strategis lainnya, mampu bercakap dalam bahasa Inggris.
Namun, bagi telinga saya, apa yang mereka ucapkan seringkali susah untuk ditangkap. Selain berbicara dengan kecepatan 100 km per jam, aksen mereka agak aneh dan terkesan lucu. Misalnya, orang India sulit mengucapkan huruh “v”, bunyinya jadi “w”. Development jadi dewlapmen, positive jadi posidiw. Apalagi kalau ngomong sambil terus-menerus geleng-geleng kepala … acha-acha-acha …
“You are ready to go there tomorrow, na?” Saya mengerutkan dahi, apa itu “na”? Ternyata maksudnya: “You are ready to go there tomorrow, right?”
Saya melihat banyak gedung bioskop di India.
Ya, soal film, India memang istimewa. Negeri ini memiliki industri film terbesar di dunia. Sepanjang tahun Bollywood memproduksi film-film Hindi yang laris-manis. Industri film Bollywood berpusat di Mumbai, sejak tahun 1990-an telah menjadi industri film paling produktif di dunia. Jika Hollywood rata-rata memproduksi 1,5 film per hari, Bollywood mampu menghasilkan 3 film per hari, alias dua kali lipatnya. Oke, tidak perlu membandingkannya dengan dunia perfilman di tanah air, ya.
Oleh karena itu saya ingin mengusulkan, suatu saat nanti ada mata kuliah pengkajian film India di PSTF (Program Studi Televisi & Film). Di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember ada seorang dosen cewek, kolega yunior saya, yang pengetahuannya tentang film dan musik India belum ada yang menandingi. Namanya Dewianti. Saya kalau berdiskusi dengannya tentang film/musik India bisa berjam-jam.
Saya sangat ingin pergi ke Mumbai. Tapi tentu saja bukan kali ini. Tempatnya terlalu jauh dari Jaipur. Rute perjalanan kami kali ini hanya meliputi segi tiga emas Jaipur-Agra-New Delhi. Mungkin pada episode berikutnya, ya.
Saya bertanya pada Mustaq, bolehkah kami mampir ke rumahnya dan berkenalan dengan keluarga besarnya? Dia menyambut dengan gembira. Maka pada saat kami bergeser dari kota Jaipur ke kota Agra, kami terlebih dulu mampir ke rumah keluarga Mustaq. Lokasinya di sebuah kampung di pinggiran kota Jaipur, di balik tembok sebuah benteng.
Kebudayaan tradisional India sangat menghargai nilai-nilai kekeluargaan. Itulah sebabnya biasa kita jumpai beberapa keluarga dari tiga hingga empat generasi tinggal di bawah satu atap. Demikianlah di rumah keluarga besar Mustaq. Orang tua, paklik dan bulik, beserta keluarga mereka, ditambah para keponakan, tinggal di tempat yang sama. Keluarga besar, tinggal di rumah kecil, bagaimanakah hari-hari mereka? Sungguh saya tak mampu membayangkannya.
Untuk menuju rumah keluarga Mustaq, kami harus berjalan melewati sebuah gang sangat sempit, pas badan, di antara dua bangunan tua.
Mustaq mempunyai beberapa orang saudara. Salah seorang adik perempuannya berprofesi sebagai pelukis henna, alias lukisan hias tangan khas India yang telah ada sejak zaman kuno.
Lukisan henna secara adat dikhususkan bagi pengantin perempuan di hari pernikahan, sebagai simbol pengharapan agar pernikahanya langgeng.
Nara minta dilukis pada tangan kirinya. Hasilnya sungguh cantik. Konon tinta lukis berbahan tanaman henna itu dapat bertahan beberapa hari.
Ketika saat makan siang tiba, kami dijamu keluarga Mustaq beberapa jenis masakan khas India. Prasmanan, tapi cukup sederhana. Ada nasi biryani, ayam goreng bumbu lengkap, dan beberapa jenis masakan yang saya selalu lupa namanya. Ketika berpamitan, istri saya menyerahkan uang pada ibunda Mustaq, sekedar pengganti belanja bahan makanan. Tapi dia menolaknya. “Anda tamu kami,” katanya.
Nonton film India di India, sudah. Mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang indah, sudah. Masuk kampung pun sudah. Kini tiba waktunya untuk bergeser ke Taj Mahal, merasakan dari dekat getar cinta abadi Shah Jahan dan Mumtaz Mahal, sang raja dan permaisuri.
Nara dan ibunya punya rencana khusus untuk kunjungan ke Taj Mahal. Mereka akan berfoto di di sana dengan mengenakan sari. Nah, itulah sebabnya pada hari terakhir di Jaipur, kami mampir ke toko kain tradisional yang paling terkenal dan terlengkap. Busana tradisional India sungguh kaya warna. Kaum perempuan mengenakan pakaian yang disebut sari, sedang kaum laki-laki mengenakan pakaian yang disebut dhoti atau lungi. Istri saya membeli beberapa potong sari, sangat indah dan tampak mewah. Saya ngeri, tidak berani bertanya berapa harganya. (Dr. M. Ilham Zoebazary, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Baca juga:
Pink City, Eksotika dan Kemiskinan—The Journey to India 1
Perempuan-perempuan Cantik di Istana Angin—The Journey to India 2
Taj Mahal, Monumen Cinta—The Journey to India 4
Mere Dil Mein Pyaar Hai: Sampai Jumpa Lagi, India—The Journey to India 5
Discussion about this post