TEPAT setahun yang lalu, 8 Februari 2020, saya berkesempatan mengunjungi India. Bersama istri dan si sulung, Ullynara. Nara baru diwisuda setelah lulus magister seminggu sebelumnya. Ini hadiah untuk dia, tapi dia yang bayar (LOL). Judul tulisan “The Journey to India” terinspirasi novel karya penulis Cina, Wu Cheng-en, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris oleh Anthony C. Yu.
Mengapa ke India? Ini impian lama saya. Masa kecil saya di Desa Kandangan, Kediri, adalah dunia kanak-kanak yang indah bersama film-film klasik Bollywood. Di sana ada sebuah gedung bioskop cukup mentereng yang nyaris tiap hari memutar film India. Kalau film lain yang diputar, penontonnya sedikit. Tapi kalau film India pasti penuh sesak. Sepanjang dua hingga tiga jam gedung bioskop gempar oleh tawa, tepuk tangan, dan sedu-sedan penonton.
Nah, saya selalu nonton sepulang ngaji. Tentu saja tanpa seijin orang tua. Gratis, karena saya masih kecil. Cukup berpegangan pada tangan seseorang yang mau masuk gedung pertunjukan, sambil memohon: “Kula nderek nggih, Paklik” (Saya ikut ya, Om). Beres. Begitu bertahun-tahun, sendiri, tidak ada kawan kecil lainnya.
Saya masih teringat nama-nama bintang film India tempo doeloe itu: Raaj Kumar, Rajendra Kumar, Geeta Bali, Balraj Sahni, Bharat Bhusan, Nalini Jaywant, Sunil Dutt, Vyjayantimala, Leela Chitnis, dan lain-lain. Musik India telah menyatu dengan setiap molekul dalam darah saya. Selanjutnya, hingga remaja dan dewasa, nada-nada khas India tidak pernah lepas dari hidup saya. Musik Hindustan inilah yang selalu menemani saya di ruang kerja. Sampai sekarang.
Pada hari pertama hingga ketiga di India, kami menghabiskan waktu di Jaipur, ibu kota negara bagian Rajasthan. India yang luas itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,2 milyar, terbagi menjadi 28 negara bagian.
Jaipur adalah kota kuno yang didirikan pada tahun 1727 oleh Maharaja Sawai Jai Singh. Kota berpenduduk 3 juta ini dijuluki “The Pink City”, dipenuhi bangunan bersejarah dan rumah-rumah penduduk berwarna merah muda. Sudah sejak lama kota ini menjadi destinasi wisata populer di India. Kami mendatangi berbagai tempat wisata yang indah, juga menyusuri kampung-kampung kumuh. Memang, India adalah potret sempurna antara kemewahan dan kemiskinan. Perbedaannya begitu ekstrem. Persis seperti yang digambarkan film-film Bollywood.
Kota Jaipur dikitari perbukitan. Di atas bukut-bukit itu terbentang tembok benteng peninggalan jaman dahulu, sambung-menyambung. Pada bulan Februari seperti saat ini, suhu berkisar 9 derajat celcius. Itulah sebabnya ketika pagi udara berselimut kabut.
Sepanjang hari kera-kera dan tupai berlompatan bebas di atap-atap bangunan; burung-burung merpati, jalak, gagak, dan elang memenuhi langit kota. Sebagian hinggap di pagar-pagar rumah, dahan pepohonan, atau bentangan kabel listrik. Merdeka, tanpa ada gangguan. India benar-benar menjadi sorga bagi binatang.
Jalanan kota cukup padat. Jika Anda datang ke India, jangan kaget karena kendaraan berlalu-lalang tanpa mengindahkan aturan. Serius, jangan pernah berharap dapat bertemu seorang pengemudi yang mampu bertahan satu menit saja tanpa memencet klakson!
Di jalan-jalan kampung, setiap saat akan dijumpai sapi, babi, dan anjing. Kotorannya bertebaran di mana-mana. Sapi adalah binatang suci kaum Hindu, hidup bebas tanpa gangguan. Dahulu, pada tahun 1890-an, pemerintah kolonial Belanda pernah mengimpor secara besar-besaran sapi India jenis Ongole ini untuk diambil dagingnya. Pada saat yang sama, mereka juga mendatangkan sapi-sapi perah jenis Frisian Holland dari negerinya untuk memenuhi kebutuhan susu di Jawa. Dalam perkembangannya, di beberapa daerah terjadilah persilangan kedua jenis sapi tersebut dan menghasilkan jenis sapi baru. Dikenal dengan sebutan sapi Grati, memiliki tingkat produksi daging tinggi tapi produksi susu rendah.
Di awal Februari 2020 itu, COVID-19 belum menjadi sumber kekhawatiran. Meski demikian, kami selalu mengenakan masker. Bukan semata untuk menghindari Corona, tapi udara Jaipur cukup berdebu. Di antara tebaran debu itulah kami berburu kuliner, sejak di hari pertama. Nara paling antusias mencoba jenis masakan yang belum dia kenal sebelumnya.
Inilah sebuah negeri masa lalu, sekaligus masa depan, yang oleh PBB diramalkan pada tahun 2024 nanti akan menjadi negara terkaya ke 3 di dunia, satu tingkat di atas Indonesia. (Dr. M. Ilham Zoebazary, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Baca juga:
Perempuan-perempuan Cantik di Istana Angin—The Journey to India 2
Sebuah Kampung di Pink City—The Journey to India 3
Taj Mahal, Monumen Cinta—The Journey to India 4
Mere Dil Mein Pyaar Hai: Sampai Jumpa Lagi, India—The Journey to India 5
Discussion about this post