Sebagai kawasan yang terbelah aliran sungai, Kediri memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi waterfront city. Eksotisme perairannya dengan peradaban panjang yang mengikutinya, sangat unik. Hunian, wisata, perdagangan, dan perkantoran bisa berpusat di tepian sungai yang bermataair di Gunung Arjuna itu.
Buat orang Kediri, entah yang tinggal di wilayah Kota maupun Kabupaten, istilah kulon kali (barat sungai) dan etan kali (timur sungai) adalah sebuah penanda posisi geografis pemukiman. Nyaris tidak ada perbedaan budaya, karakter, bahasa, atau gaya hidup di antara orang-orang yang tinggal di tepi berseberangan Sungai Brantas. Jika ada jalur penghubung berupa jembatan, tentu akses di segala sektor akan terhubung lebih nyaman.
Sabtu, 11 Juli 2015, kediripedia.com mencoba menelusuri titik-titik penting yang menjadi urat nadi penghubung kehidupan yang telah berlangsung sejak sekian abad silam.
Di kawasan Kota Kediri, setidaknya ada empat jembatan penghubung wilayah barat dan timur sungai. Sayangnya, di wilayah Kabupaten Kediri, belum ada satupun jembatan penghubung. Masyarakat secara swadaya melakukan kreatifitas dengan menciptakan tambangan: kapal-kapal kecil yang ditarik secara manual dengan tali untuk mengangkut manusia, barang, sepeda ontel, dan sepeda motor. Tambangan itulah yang selama ini menjadi pemotong jarak dan waktu wilayah kulon kali dan etan kali yang berjarak sekitar 120 meter, sesuai dengan ukuran rata-rata lebar perairan Sungai Brantas.
Semua kepentingan masyarakat, mulai dari keagamaan, perdagangan, pendidikan, silaturahmi, dan peribadatan, bertumpu pada tambangan yang jumlahnya ada ratusan di sepanjang DAS (daerah aliran sunga) Brantas yang melewati Kediri. Bisa berjumlah ribuan jika dihitung di seluruh DAS Brantas mulai dari mata air Sumber Brantas di Batu, Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, hingga Mojokerto: yang kemudian bercabang menjadi Kali Mas (menuju Surabaya) dan Kali Porong (menuju Sidoarjo).
Sebagai sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo, luas DAS Brantas mencapai lebih dari 14. 000 kilometer persegi, dengan panjang aliran mencapai 320 kilometer. Alirannya juga bersinggungan dengan kawasan Gunung Kelud, gunung berapi aktif yang menyimpan material tak terhitung jumlahnya.
Berada di lintasan perairan Brantas yang menguasai seperempat luas Provinsi Jawa Timur itulah, Kediri menjadi wilayah penting. Belum ada kajian sejarah yang meneliti secara khusus tumbuhnya tambangan-tambangan di DAS Brantas Kediri. Namun yang pasti, semua dipengaruhi oleh kebutuhan untuk berinteraksi dalam berbagi sektor di antara daerah yang terbelah. Dan tambangan-tambangan itulah jawaban nyata yang menjadikan mimpi-mimpi menjadi kenyataan.
Meskipun fungsinya sangat penting, moda transportasi ini dikelola dengan sangat tradisional dan apa adanya. Dari sisi tarif saja, boleh dibilang hanya berpatokan pada kesepakatan masyarakat. Sekali menyeberang naik sepeda motor, penumpang membayar antara Rp 1.000 – Rp 2.000 “Jika membayar lebih tentu saja lebih baik, demi kelestarian tambangan,” kata Jalil, pedagang keliling yang setiap hari blusukan naik sepeda motor di sekitar zona waterfront.
Seperti Jalil, pelajar, mahasiswa, santri, pegawai, pedagang, setiap hari memanfaatkan jasa tambangan. Jika menggunakan akses jalan darat, selain harus berputar menempuh jarak lebih jauh, waktu yang bisa dihemat juga cukup signifikan. Belum lagi perhitungan bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan jika memilih jalur darat. Alhasil, tambangan menjadi pilihan ekonomis.
Dari ratusan tambangan, ada satu yang menyediakan jasa mengangkut kendaraan roda empat. Lokasinya berada di jalur penghubung antara Desa Mojo, Kecamatan Mojo di barat sungai dan Ngadiloyo, Kecamatan Ngadiluwih di timur sungai. Masyakarat mengenal tambangan ini dengan sebutan KAPAL DEWA BRANTAS. Sekitar 50 meter di utara tempat beroperasi Dewa Brantas, ada tambangan juga, namun khsusus melayani kendaraan roda dua dan pejalan kaki.
“Kapal ini adalah tambangan pertama yang melayani jasa penyeberangan mobil atau jenis kendaraan roda empat lainnya, dan mulai beroperasi sejak tahun 2011,” kata Gobet, nahkoda atau lebih tepatnya juru tarik Dewa Brantas. “Ada satu lagi di dekat perbatasan Tulungagung, entah masih beroperasi atau tidak.”
Selama empat tahun, Gobet setia membantu mobil pribadi dan truk pengangkut tebu yang hilir mudik di antara timur dan barat sungai. Empat bulan terakhir, lelaki kelahiran 1987 itu dibantu Reza Muhammad Ridwan, 34 tahun. Ridwan pulang kampung setelah 14 tahun menjadi mekanik otomotif di Palu, Sulawesi Utara.
“Saya terpanggil menjadi anak buah kapal Dewa Brantas untuk, membantu Mas Gobet melayani jasa angkut mobil menyeberangi Sungai Brantas,” kata Ridwan.
Kapal Dewa Brantas dibangun dari memodifikasi bekas kapal penambangan pasir. Gladaknya yang terbuat dari besi baja tebal, direnovasi sedemikian rupa agar kuat mengangkut mobil. “Ini milik orang yang tinggal di kota Kediri, kami hanya mengoperasikannya saja,” kata Gobet.
Dengan tarif Rp 12.000 sekali menyeberang, dalam sehari Dewa Brantas menyeberangkan 20 hingga 25 mobil. Mayoritas penumpangnya adalah truk-truk pengangkut tebu yang habis mengirim tebu ke berbagai pabrik gula di timur sungai. “Tapi truk yang kami angkut dalam keadaan kosong, kalau ada muatannya kami tidak berani,” kata Gobet.
Untuk jenis truk, Dewa Brantas hanya mampu menyeberangkan satu buah saja. Sedangkan jenis mobil penumpang atau mobil pribadi bisa sampai dua buah. Jika arus deras, tenaga penyeberangan dibantu mesin tempel diesel di buritan kapal. “Kalau untuk mengangkut satu mobil seperti sekarang, cukup ditarik tangan saja, asal sudah sarapan banyak,” kata Ridwan.
Dewa Brantas mulai beroperasi pada pukul 06.00 – 22.00. Tapi jika ada situasi darurat bisa mengontak anak buah kapal yang stand by 24 jam. “Silahkan telepon saja, kami siap menyeberangkan Anda,” kata Ridwan.
Gobet dan Ridwan tinggal di Dusun Ngadiloyo, Desa Ngadiluwih, tidak jauh dari kawasan tambangan. Sehingga jika diperlukan sewaktu-waktu, mereka bisa langsung bergerak cepat.
Meskipun bisa melayani 24 jam, di musim hujan sangat bergantung pada kedalaman air. Jika pada musim kemarau rata-rata kedalaman air hanya berkisar antara 3-4 meter, pada musim hujan bisa mencapai 12 meter. “Selain faktor kedalaman air, di musim hujan arusnya cenderung sangat deras,” kata Ridwan. “Sangat berbahaya buat keselamaan kita semua.”
Dari sisi keselamatan penumpang, tentu masih banyak hal yang harus diperhatikan agar moda transportasi seperti Kapal Dewa Brantas itu semakin layak dan aman. Namun, niat baik dan ikhtiar Gobet dan Ridwan untuk membantu masyarakat memotong jarak dan waktu juga merupakan hal terpenting yang harus mendapat apresiasi positif.
Dengan dukungan semua pihak, siapa tahu apa yang dilakukan dua pemuda Ngadiloyo itu kelak bisa menjadi embrio terciptanya waterfront development di kawasan Brantas. Masyarakat bisa tenang dan nyaman menikmati perjalanan menyeberangi, bahkan menyusuri sungai seperti di Venesia, Positano, dan Amalfi, Italia yang romantis. Atau seperi di San Antonio Texas yang menonjolkan kekayaan budaya. Bisa juga seperti Canary Wharf London yang di tepian sungainya banyak berdiri kondomonium dan pusat perkantoran. Atau Port Grimoud Prancis yang dikepung dengan hunian yang menyenangkan. (Dwidjo U. Maksum)
Nomor kontak Gobet dan Ridwan,
nahkoda dan anak buah Kapal Dewa Brantas: 085655381998 – 085756037770