TAHUN ini, World Bicycle Day ditandai dengan maraknya penduduk dunia memilih sepeda sebagai transportasi andalan, karena menghindari risiko terpapar Covid-19. Seperti yang tercatat di Inggris, penjualan sepeda selama masa krisis meningkat sampai 200 persen. Bahkan beberapa negara Eropa terdorong menambah jalur bagi penggowes yang jumlahnya kian bertambah. Salah satunya dilakukan Ibukota Negara Prancis, yang meluncurkan 650 Kilometer jalan sepeda, termasuk pop-up “Sepeda Corona”.
Lonjakan para pengayuh kereta angin juga jamak dijumpai di Indonesia. Masyarakat memilih gowes karena aman dari risiko tertular virus corona, daripada berdesakan dalam transportasi umum. Di sisi lain, kendaraan ini tergolong simpel, terjangkau, dan ramah lingkungan. Di Kota Kediri, Jawa Timur, ontel justru jadi pilihan warga untuk beraktivitas fisik. Pembatasan gerak sosial berbagai sektor kehidupan di tengah wabah, membuat sepeda menarik dilirik.
“Sebenarnya gaya hidup bersepeda sudah cukup lama dijalani oleh masyarakat kita, tapi mayoritas hanya untuk kebutuhan hobi atau olahraga,” kata Yoga Pamungkas, warga Kota Kediri yang juga hobi bersepeda, saat dihubungi via telepon pada Rabu, 3 Juni 2020.
Menurut mantan jurnalis RCTI itu, gandrung sepedaan bisa jadi pertanda masyarakat lebih peduli dan menjaga stamina tubuh selama dilanda pandemi. Namun geliat tersebut harus dibarengi dengan pemahaman dan patuh pada protokol pencegahan penyebaran Covid-19. Antara lain wajib menggunakan masker dan menjaga jarak dengan pesepeda lain.
“Sebaiknya menghindari sepedaan bareng rombongan atau melibatkan orang banyak, apalagi dilanjutkan dengan nongkrong di ruang publik,” katanya.
Bagi ayah dua anak ini bersepeda adalah pilihan ideal untuk menghabiskan waktu luang. Rutinitas itu telah berlangsung selama enam belas tahun. Meski biasa mengayuh ontel sendiri, ia tak jarang melewatkan kegiatan bersama komunitas-komunitas pesepeda lain. Karena hobi itu pula, membawa Yoga berpetualang ke berbagai daerah di Indonesia. Seperti mengikuti acara Tour De Timor di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kawasan kepulauan timur Indonesia yang dijelajahi Yoga itu ternyata erat kaitannya dengan riwayat penemuan sepeda. Pada tahun 1815 Gunung Tambora di NTT meletus dan mengakibatkan dunia dilanda krisis ekonomi. Tiga tahun setelahnya, warga Jerman, Karl Drais, menciptakan alat sederhana beroda dua dari bahan kayu bernama “Drisine”. Temuan ini populer dijuluki “Hobby Horse” atau “Kuda-kudaan” karena dibuat untuk menggantikan kerja kuda. Jika masyarakat kala itu harus mengeluarkan ongkos besar untuk membeli kuda, maka sejak adanya penemuan sepeda warga Jerman dapat lebih menghemat biaya.
Sistem kerja Drisene tidak dioperasikan dengan pedal seperti sepeda sekarang, melainkan lewat jejakan kaki ke tanah. Seiring waktu berjalan, bentuk dan desain sepeda terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Fungsinya yang semakin kaya, di masa kini sepeda banyak dimanfaatkan untuk olahraga, atau sekadar pelengkap gaya.
Mengingat berbagai manfaat yang dihasilkan, kegiatan berseped menjadi sorotan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam pertemuan rutin pada 12 April 2018, PBB menetapkan tanggal 3 Juni sebagai “Hari Sepeda Dunia” atau World Bicycle Day.
Meskipun gandrung genjot pedal kini kian menggejala, itu semata-mata karena kewaspadaan masyarakat mengurangi potensi terinfeksi virus corona. Dalam masa was-was dari penularan Covid-19 mengharuskan semua orang mengurangi aktivitas di luar rumah, termasuk hobi mengayuh ontel.
“Tapi saya berupaya tetap genjot sepeda minimal seminggu sekali,” kata Yoga.
Untuk menghindari kerumunan orang, pria kelahiran Kota Angin ini memilih jalur gowes di lingkungan hijau yang jauh dari pemukiman penduduk. Dia merasa beruntung tinggal di kawasan Kediri yang terapit oleh dua gunung, yaitu Kelud dan Wilis. Lereng di kedua gunung berapi itu menawarkan rute-rute bersepeda, lengkap dengan lanskap yang memanjakan mata. (Naim Ali)