SEBELUM film ditayangkan di bioskop dan televisi, kalimat “telah lolos sensor” selalu muncul di awal pemutaran. Penyematan itu diberikan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) yang menandai bahwa suatu film benar-benar layak dikonsumsi publik. Berdiri sejak era kolonial, hingga kini lembaga sensor terus bekerja memangkas berbagai adegan tak pantas.
Pada Jumat 8 Mei 2020, Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan resmi melantik 17 Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020-2024. Dalam sambutannya, Nadiem berharap LSF semakin menajamkan wawasan dan cara pandang out of the box untuk mengimbangi perkembangan teknologi.
“Film yang berkualitas bisa menjadi media pendukung dan melengkapi pelaksanaan pembelajaran,” ujar Mendikbud.
Di hari yang sama, LSF juga menyelenggarakan sidang pleno penentuan Ketua dan Wakil Ketua LSF periode 2020-2024. Di masa pandemi Covid-19, pemilihan itu digelar secara daring dalam rangka menaati imbauan pemerintah untuk melakukan physical distancing.
Proses penghitungan suara dilakukan secara terpusat dan terbatas di kantor Lembaga Sensor Film di Jakarta. Hasilnya, Rommy Fibri Hardiyanto terpilih sebagai Ketua LSF, didampingi Ervan Ismail sebagai Wakil Ketua periode 2020-2024.
“Saya memiliki visi yaitu membangun LSF yang independen, akuntabel, kredibel, dan profesional,” kata Rommy dalam sambutan perdananya sebagai Ketua LSF periode 2020-2024.
Menurut sarjana Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, ke depan LSF akan lebih menguatkan proses penyensoran film. Untuk itu, Rommy beserta 16 anggota LSF lainnya, sangat mengharapkan masukan positif dari berbagai pihak untuk mengoptimalkan kinerja LSF di periode 2020-2024.
Selama empat tahun mendatang, pria yang pernah menjadi wartawan Majalah TEMPO itu akan mengomandani berbagai tugas LSF. Misalnya, melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan kepada khalayak umum. Selain itu juga melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan sebuah film.
Sebelum menjabat sebagai ketua LSF periode 2020 -2024, Rommy sempat lama bergelut di dunia jurnalistik. Rommy adalah satu-satunya wartawan Indonesia yang terjun langsung ke jantung kota Baghdad, Irak untuk meliput peristiwa Perang Teluk.
Selain di TEMPO, pria kelahiran Semarang, 14 Februari 1972 pernah dipercaya sebagai Produser Eksekutif Liputan 6 SCTV, Pemimpin Redaksi Tabloid Mingguan PRIORITAS, Direktur Harian Jurnal Nasional, serta Direktur News dan Produksi TV Muhammadiyah. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, Rommy pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Presidium Pusat Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Di luar aktivitas di media massa, Rommy juga pernah mengajar mata kuliah “Liputan Investigasi” di The London School of Public Relations (LSPR). Dia juga menulis sejumlah buku; di antaranya Detik-detik Terakhir Saddam: Kesaksian Wartawan TEMPO dari Bagdad Irak yang ditulis bersama Ahmad Taufik (Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2008). Serta Panduan bagi Jurnalis dalam Meliput Peristiwa Traumatik, ditulis bersama Ray Wijaya dan Fetty Fajriati yang diterbitkan Yayasan Pulih pada 2005.
Pada 2003, bersama rekan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan pengacara muda yang tergabung dalam Komite Pembela Kebebasan Pers (KPKP), Rommy mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers di Jakarta. Di tahun 2016 hingga 2020, Rommy menjadi Anggota Komisi Bidang Hukum dan Advokasi di Lembaga Sensor Film, hingga akhirnya terpilih sebagai ketua LSF periode 2020-2024. (Kholisul Fatikhin)