Selembar foto mampu menghadirkan bermacam makna. Seno Gumira Ajidarma, dalam buku “Kisah Mata”, menerangkan bahwa keberagaman maknalah yang membuat sebuah foto menjadi lebih berarti. Terlepas dari kreativitas fotografernya, nilai sebuah foto sangat tergantung pada siapa atau bagaimana seseorang memandang foto tersebut.
Sebagai halnya dengan foto yang mengabadikan sekumpulan orang, duduk bersama dalam suatu ruangan laksana ruang tamu itu. Melihat sekilas, tak jauh beda dengan foto lawas kebanyakan. Tercetak hitam-putih dan beberapa bagian tintanya telah memudar.
Dalam foto tampak sekelompok orang berbusana Tionghoa, bergaya khas puluhan tahun silam. Duduk di atas kursi unik dari anyaman jalin, dengan latar gebyok berhias ukiran jawa, yang kemungkinan telah jarang kita temui pada dasawarsa belakangan.
Namun eksistensi sebuah foto selalu bertalian erat dengan judul atau keterangan yang mengikutinya. Seperti catatan “Kedirie” yang tertulis pada bagian pojok kiri bawah foto. Demikian juga sebelah pojok kanan bawah tercatum tulisan “6 Mei 1917”. Membaca keterangan yang tercantum, terhitung sejak Mei 2017, potret kawak itu telah berumur seratus tahun dan dipastikan direkam di suatu tempat di Kediri.
“Foto itu salah satu dari beberapa yang sampai sekarang masih saya rawat. Semua koleksi ‘Boekhandel Tan Khoen Swie’, penerbit buku milik Tan Khoen Swie, kakek buyut saya,” ujar drg. J Soetjahjo Gani, mengamini keabsahan foto lawas itu, pada Senin, 17 Juli 2017. “Saya menduga, mereka adalah para penulis dan cendekia kawan Tan Khoen Swie,” lanjutnya sambil menunjuk sosok Tan Khoen Swie dalam foto, pria berkumis yang duduk di kursi paling kiri.
Banyak pihak menyebut, Boekhandel “Tan Khoen Swie” (TKS) sebagai cikal bakal penerbitan buku di Indonesia, yang memiliki peran penting dalam perubahan tradisi oral (lisan) ke tradisi tulis. Diperkirakan lahir pada tahun 1915, jauh sebelum penerbit Balai Pustaka berdiri. Enam tahun kemudian, masa kejayaan mulai dirasakan. TKS menjadi penerbit bergengsi dan ternama, meski berpusat di daerah Kediri Jawa Timur.
Sekitar empat ratusan buku berhasil diterbitkan, angka yang cukup fenomenal pada zamannya. Antara lain, “Atoeran dari hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland”, dicetak tahun 1932 karangan R. Boedihardjo, Patih Loemadjang. “Tjinta Kebaktian pada Tanah Air”, terbit tahun 1941. Berkat TKS pula, pujangga-pujangga kenamaan Jawa seperti Ronggowarsito, Ki Padmosusastro dan Yosodipuro pun melejit.
Menurut drg. J Soetjahjo Gani, pada awal kelahiran TKS, Tan Khoen Swie dibantu oleh karib, penulis dan cendekia Tionghoa dari berbagai wilayah. Sebut saja Tan Soen Djwan dari Ngawi. Ia sengaja diundang Tan Khoen Swie menginap di TKS, untuk menerjemahkan kitab Tiong Jong ke bahasa Melayu. Begitu pula dengan topangan tenaga maupun pikiran dari sosok Tan Soen Djwan, Han Thwan Hong, Tan Tik Sioe Sian, Tan Khoen Hien.
“Beberapa dari mereka ikut serta dalam foto bersama. Mereka rutin berkumpul, mungkin persis seperti (dalam foto) itu,” ujar drg. J Soetjahjo Gani, di sela kesibukan melayani pasien di Jalan Dhoho Kediri. “Mereka ini dipotret di ruang tamu ‘Boekhandel Tan Khoen Swie’. Saya ingat betul, waktu kecil pernah duduk di kursi jalin (dalam foto) itu,” pungkasnya meyakinkan.
Seratus tahun bukanlah periode seputaran jarum jam. Wujud gambar sederhana, berkumpulnya para pionir penerbitan buku pada seabad lalu itu, sejatinya meninggalkan makna begitu dalam. Sepenggal fakta di mana era buku di tanah Nusantara, pernah santer ditabuh dari dalam sepetak bangunan di tengah Kota Kediri. Menggantikan tradisi tutur yang sebelumnya dikenal dengan bentuk tedhakan, turunan yang ditulis tangan. (Naim Ali)