SELAMA para ahli kesehatan belum menemukan vaksin penawar corona, menerapkan protokol pencegahan adalah satu-satunya jalan menghentikan penyebaran. Maka, mematuhi anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seperti mencuci tangan pakai sabun, layak untuk terus dikedepankan. Langkah itu menjadi cara paling mudah, sederhana, dan efektif menghancurkan Covid-19 yang menempel akibat sentuhan.
Sejak meruyaknya pandemi corona, sabun kini berfungsi seperti malaikat penjaga. Di depan rumah, toko-toko, gedung pemerintahan, perkantoran, bahkan di pinggir jalan, terdapat peralatan cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun. Setiap orang yang datang tidak lantas langsung masuk ke ruangan, sekarang mereka wajib membasuh tangan terlebih dahulu.
Sebelum ada serangan corona, CNN Indonesia pada Jumat, 18 November 2019 melaporkan bahwa mencuci tangan dengan sabun lebih efektif membunuh kuman ketimbang hand sanitizer. Pemakaian hand sanitizer memang sangat efisien, tapi hanya dalam waktu tertentu saja. Misalnya, saat sedang tidak bisa menemukan air.
“Mencuci tangan dengan sabun juga harus dilakukan dengan benar. Mulai dari menggosok telapak tangan, punggung telapak tangan, sela-sela jari, dan kuku,” kata Kanya Fidzuno, dokter spesialis anak.
Sabun dan deterjen yang dikategorikan sebagai bahan pembersih punya fungsi sama, yaitu mematikan kuman penyakit. Bedanya, deterjen memiliki kadar lebih kuat dari sabun. Jika deterjen digunakan untuk membilas kain dan benda lainnya, sedangkan untuk kulit memakai sabun lebih disarankan.
Saat permukaan tangan terkena air sabun, kandungan amphiphiles atau zat kimia organik di dalam sabun akan bertarung melawan lemak yang terdapat di virus. Prosesnya kurang lebih sama ketika sabun bekerja menghapus kotoran dari kulit. Bukan hanya covid-19 saja, sabun dipercaya dapat menghancurkan berbagai virus seperti MERS, SARS, bahkan ebola.
Langkah cuci tangan demi mengurangi potensi terjangkit virus ini dipelopori Florence Nightingale pada tahun 1854. Kala itu, perawat asal Italia berhasil menyelamatkan ribuan nyawa para tentara yang bertempur di Perang Krimera. Berkat aksinya menjaga kebersihan dan menggalakkan cuci tangan, pasukan militer itu terhindar dari ancaman penyakit kolera, tipes, tifoid, disentri, dan sembuh dari luka fisik akibat perang.
Jika ditarik ke peradaban yang lebih lampau, sabun atau dalam bahasa Inggris disebut soap diambil dari kata “sapo”. Istilah tersebut berasal dari nama sebuah pegunungan di era Romawi Kuno. Gunung Sapo digunakan sebagai tempat pemotongan hewan dalam upacara adat. Ketika hujan, sisa-sisa lemak hewan yang tercampur dengan abu kayu pembakaran lalu mengalir ke Sungai Tiber. Siapa sangka, saat masyarakat sekitar memanfaatkan aliran sungai terpanjang ke tiga di Italia itu untuk mencuci, bilasan air mengeluarkan busa dan membuat pakaian lebih bersih.
Dari peristiwa di Sungai Tiber, informasi tentang bahan baku membuat sabun menyebar ke seluruh dunia. Memasuki era industri pada abad 18, sabun mulai diproduksi dalam skala besar dan digunakan secara masal hingga sekarang. Masyarakat kini tidak perlu repot mencampurkan cairan lemak dengan alkali atau arang untuk membersihkan badan dan pakaian. Berbagai jenis sabun dan deterjen kini dapat mudah dijumpai dan didapatkan dengan harga terjangkau.
Di tengah terpaan pandemi pandemi corona seperti sekarang, sudah pasti pemanfaatan sabun semakin meningkat. Mulai dari Presiden, Gubernur, Wali Kota/Bupati, hingga ketua RT menyampaikan pentingnya mencuci tangan pakai sabun. Lewat gerakan itu, penggunaan sabun di rumah-rumah tentu bertambah. Jika sebelum corona mendera warga hanya mencuci tangan tiga kali sehari, barangkali kini malah lebih.
Hingga pertengahan bulan April 2020, wabah tak kunjung mereda. Beragam spekulasi tentang bagaimana dan kapan virus ini akan musnah, bermunculan. Misalnya, informasi bahwa virus akan musnah bila terkena suhu panas dan paparan sinar matahari. Nah ternyata, hasil penelitian Profesor Remi Charrel di Universitas Aix-Marseille menunjukkan bahwa hal itu belum terbukti benar. Dalam riset yang dilakukan tim ilmuwan Prancis, virus corona masih hidup meskipun dipanaskan pada suhu hingga 60 derajat Celcius selama satu jam.
Sembari menunggu kabar yang benar-benar baik, tidak ada salahnya menguatkan kembali adagium lama “lebih baik mencegah dari pada mengobati”. Misalnya, mematuhi saran dari WHO untuk rajin cuci tangan, physical/social distancing, dan segera berobat jika merasa ada gejala akibat corona. (Kholisul Fatikhin)