BAGI masyarakat dunia yang menganut kalender gregorian atau masehi, pesta pergantian tahun identik dengan kembang api. Namun, tiap bangsa sejatinya memiliki standar masing-masing ketika menentukan hitungan tahun, termasuk bagaimana cara meramaikannya. Misalnya, perayaan Imlek di kebudayaan Cina. Terdapat satu momen yang selalu ditunggu-tunggu yaitu turunnya hujan.
Menurut kepercayaan Tionghoa, semakin deras guyuran hujan di malam pergantian tahun maka semakin banyak rezeki yang datang. Sebaliknya, apabila hujan tidak turun, artinya selama setahun ke depan dianggap tidak hoki atau pertanda kurang baik.
“Hujan selalu dinantikan saat Imlek karena selain faktor kepercayaan, terdapat juga budaya agraris masyarakat Cina terdahulu,” kata Vincentius Hendrie Handoko, salah seorang warga etnis Tionghoa di Kediri, Senin, 16 Januari 2023.
Menurut lelaki bermarga Tjioe itu, perayaan tahun baru Cina berbarengan dengan musim panen dan tanam. Sehingga, mereka berharap datangnya hujan agar sumber air tidak mengering serta bisa bercocok tanam selama setahun ke depan.
Jika melihat perhitungan astronomi dan kalender, Imlek memang selalu bertepatan dengan musim penghujan. Apabila tidak turun hujan, berarti ada yang salah dengan iklim di bumi. Entah itu karena perubahan cuaca ekstrem serta pemanasan global yang semakin parah.
“Penanggalan Imlek menggunakan sistem perputaran Bulan, jadi bisa dipastikan Imlek selalu jatuh antara Januari dan Februari,” kata anggota Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) Kota Kediri itu.
Perayaan Imlek sudah dimulai sejak 3500 tahun silam di zaman Dinasti Shang. Dalam kisah mitologi Cina, terdapat seekor raksasa bernama Nian yang sering mengambil hasil panen. Penduduk yang resah lalu mengusirnya dengan menggunakan cahaya terang, lampion merah, bentangan kain merah, dan suara alat musik. Sejak saat itu Nian tidak pernah datang lagi ke desa.
Dari kisah itulah perayaan Imlek selalu identik dengan warna merah mencolok dan tabuhan musik barongsai. Upaya mengusir raksasa Nian itu hingga sekarang masih dipatuhi masyarakat Tionghoa di berbagai kawasan. Sebutan Imlek hanya digunakan di Indonesia. Sedangkan di Cina, Imlek yang berasal dari kata Yin Li lebih populer dengan istilah Chunjie atau festival menyambut musim semi.
Tahun ini Imlek jatuh pada Minggu, 22 Januari 2023. Namun menurut kalender Cina, hitungan warsa memasuki tahun ke 2574 dengan shio Kelinci. Dalam budaya Tiongkok, hewan bertelinga panjang itu bermakna umur panjang, kedamaian, dan kemakmuran. Penanggalan Cina disebut juga dengan Kongzili karena didasarkan kelahiran Nabi Kongzi atau Confucius pada 551 SM. Penanggalan yang digunakan sampai sekarang itu diresmikan oleh Kaisar Han Wu Di pada 104 SM.
Dalam perayaan ini, hal yang pertama kali dilakukan yakni berkunjung ke klenteng terdekat untuk mendoakan leluhur. Ucapan syukur dan doa selama setahun ke depan dipanjatkan dengan membakar dupa di depan altar. Selain itu momen perayaan ini juga digunakan untuk berkumpul bersama keluarga atau menuju rumah kerabat.
“Barongsai, kue keranjang, dan pernak-pernik berwarna merah jadi ciri khas Imlek,” kata Hendrie.
Perayaan tahun baru Cina tidak hanya dirayakan selama 1 hari, perayaan akan dilaksanakan selama 15 hari dan puncaknya adalah Cap Go Meh. Selama rangkaian acara tersebut rumah-rumah akan dihiasi dengan lampion, hiasan-hiasan, kaligrafi cina yang didominasi warna merah.
Merah dipilih karena memiliki makna keberuntungan dan mampu menolak roh jahat dan kesialan. Warna dengan nama lain Hong Se ini biasanya dipadukan dengan emas yang berarti kemakmuran
“Setelah reformasi, kami dari kalangan etnis Tionghoa lebih berani merayakan tradisi-tradisi kami,” ujar pria yang juga hobi mengoleksi benda-benda seni tersebut.
Perayaan Imlek memang baru diperbolehkan sejak adanya Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Keputusan itu sekaligus pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967. Perayaan tahun baru Cina kemudian masuk sebagai hari besar di Indonesia setelah Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
“Perayaan Imlek ini sebagai sarana memperkuat kerukunan antar umat beragama dan juga pelestarian budaya,” ujar Titus Suwandi, Pelestari Wayang Potehi Kediri.
Menurutnya, perayaan imlek di Indonesia merupakan bentuk akulturasi budaya. Setidaknya terdapat 3 tradisi yakni Cina, Jawa, dan Indonesia yang kemudian menjadi wajah perayaan Imlek seperti sekarang.
Hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat telah terjalin sejak era kerajaan hingga kini. Sehingga, masyarakat Cina tidak bisa dianggap orang asing. Selama ratusan tahun, mereka mewarnai khasanah kebudayaan bangsa indonesia lewat produk literasi, kesenian, dan kuliner. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post