Pagi itu, Rabu, 20 Desember 2017, mendung tebal menyelimuti hampir seluruh wilayah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Meski tak lama lagi nampak akan turun hujan, aktivitas di beberapa titik masih menunjukan denyut gerak. Salah satunya dalam Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, di Jalan Soekarno-Hatta.
Suara yang dihasilkan speaker di ruang sidang lirih-lirih menerobos hingga ke luar. Perdebatan mengenai hak asuh anak dan pembagian harta gono-gini terdengar mengemuka. Suasana berbeda justru tergambar di ruang tunggu. Kesan dingin dengan raut muka tegang muncul dari beberapa pasangan yang sebentar lagi masuk ruang sidang. Di gedung tersebut, berakhir tidaknya hubungan rumah tangga dan beberapa keputusan perdata ditentukan.
Dari sekian banyak gugatan perceraian yang masuk ke data Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, didominasi oleh para buruh migran. Sejak awal dekade 1980-an, Tulungagung dikenal sebagai kawasan yang popoler sebagai kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Di mana mayoritas warga di hampir tiap desa di pesisir pantai selatan Pulau Jawa itu memilih bekerja ke luar negeri. Antara lain, Malaysia, Brunai Darusalam, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan ataupun Jepang.
Rupanya tren itu menimbulkan polemik. Saat keadaan ekonomi masyarakat terangkat, di sisi lain tingkat perceraian meningkat.
“Kasus perceraian oleh para buruh migran masih jadi yang tertinggi,” kata Septi Wulan Sari, Hakim Mediasi Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, Rabu, 20 Desember 2017.
Perempuan lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung ini menerangkan, jika pada tahun 2016 yang lalu pengajuan gugatan banyak dilakukan oleh pihak istri atau Tenaga Kerja Wanita (TKW), namun di tahun 2017 cenderung berimbang. Alasan para TKI memilih mengakhiri rumah tangga pun dinilai Septi sangat beragam. Misalnya dari faktor pihak ketiga, ekonomi, gaya hidup, hingga perubahan mindset. Jauh berbeda dengan tren sebelumnya yang menjadikan komunikasi sebagai biang perceraian.
Keputusan untuk menggugat ini biasanya dilakukan oleh para TKW yang sudah beberapa kali berangkat ke luar negeri. Dari beberapa kasus yang pernah dimediasi Septi, masalah pergeseran pola pikir paling mendominasi. Ia meyakini, perubahan mindset itu akibat dari lifesyle dan pengaruh komunitas TKW di luar negeri.
“Anehnya ketika mereka memutuskan untuk bercerai, meski diberi pertimbangan soal nasib anak ke depan, para TKI tetap bergeming dan sudah bulat untuk bercerai,” tambah Septi.
Misalnya kasus yang pernah dialami perempuan berinisal WS, warga Desa Winong, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Ia memilih jalur perceraian atas peristiwa yang menimpanya. Pada masa menjadi TKW ke Hong Kong, ibu dua anak itu menyisihkan gaji bulanannya untuk dikirim secara berkala kepada suami. Namun sang suami malah tidak bekerja dan menggantungkan kebutuhan ekonomi keluarga pada WS. Uang yang tiap bulan dikirim pun juga tidak digunakan dengan semestinya.
Menurut Sunarno, salah seorang dosen psikologi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, perceraian bisa menimpa setiap keluarga, tak hanya keluarga TKI. Dosen yang mendirikan forum bernama “Srawung Psikologi” di Kediri ini, menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis. Khusus ia menyoroti soal institusi terkecil di masyarakat, yaitu keluarga.
“Keluarga seperti halnya makhluk hidup, jika salah satu metabolisme di badan tidak berjalan, pasti akan jatuh sakit,” ujar sunarno.
Lebih jauh ia mengatakan, anggota keluarga saling berhubungan satu sama lain. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak tersebut saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Dalam keluarga terdapat pembagian kerja yang disesuaikan dengan status, peranan, jenis kelamin, dan umur anggota-anggota keluarga. Ayah sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Bagi keluarga pada umumnya, ayah mempunyai peranan utama dalam pemenuhan kebutuhan. Meskipun ada anggota keluarga lain, semisal ibu dan anak-anak yang sudah dewasa juga bekerja, namun hal itu tidak berarti seorang ayah gugur kewajibannya sebagai pencari nafkah.
“Perceraian ini banyak dianggap jalan satu-satunya menyelesaikan konflik, tapi perlu disadari bersama bahwa perceraian justru akan menimbulkan masalah baru, misal bagaimana psikologi anak,” kata Sunarno.
Potret perceraian TKI tersebut juga menjadi kajian utama yang dilakukan oleh Widi Hariyanto, selaku ketua Migrant Center Tulungagung. Pria yang akrab disapa Hari itu sudah sepuluh tahun bergerak menganalisa fenomena buruh migran Tulungagung. Ia menilai kasus perceraian TKI sangat sulit untuk dibendung.
“Di setiap kawasan di Tulungagung yang terdapat TKI, bisa dipastikan di situ ada kasus perceraian, saya nggak tahu, sepanjang yang saya amati itu sudah otomatis kok,” kata Hari.
Pendampingan yang digalakan Hari lewat Migrant Center Tulungagung terbilang sangat sederhana. Pada dasarnya hanya mengawal tujuan utama para para pahlawan devisa negara ini bekerja di luar negeri. Yaitu memperbaiki kondisi ekonomi. Uang penghasilan mereka kelak dimanfaatkan sebagai modal membuka usaha. Meski ada yang tetap pada tujuan awal, namun tidak sedikit pula yang gagal fokus. Dari ketidakfokusan itu disinyalir sering menimbulkan letupan masalah di keluarga.
Hari berpendapat bahwa pemahaman akan langkah yang lebih bijak dan solutif sangat diperlukan. Seperti melakukan tradisi adat “Mbangun Nikah”. Ia bercerita, berhasil memediasi pihak yang berseteru di Desa Winong, Tulungagung untuk melaksanakan prosesi tersebut. Pihak suami dan istri yang berselisih memperbarui akad nikahnya dan melupakan apa yang terjadi di masa lalu. “Ibarat mencuci baju yang kotor agar bersih kembali. Dengan begitu, tidak akan muncul rentetan persoalan yang lain,” imbuhnya. (Kholisul Fatikhin)