LELAKI berbaju piyama lurik itu datang ke Dusun Goliman, Parang, Kabupaten Kediri pada Senin, 27 Desember 1948. Tanpa mengenakan jas, kopiah, dan seragam militer, tak ada satupun warga yang menyangka dia adalah Jenderal Sudirman. Kepada masyarakat sekitar, Bapak Gerilya Indonesia ini memperkenalkan diri sebagai seorang guru.
Penyamaran “Pak De” bukan hanya mengecoh warga, tapi juga berhasil mengelabui kejaran tentara Belanda pada Agresi Militer 2. Selama 9 hari singgah di Goliman, dia tinggal di rumah milik Badal, salah seorang warga. Badal dan istrinya menyiapkan ruangan yang disekat anyaman bambu berukuran 2×3 meter sebagai kamar Sudirman.
“Mbah Badal awalnya tidak tahu kalau tamunya itu adalah Pak Dirman. Lama-lama dia mulai curiga karena tiap hari banyak tentara datang,” kata Pangadianto, Kepala Dusun Goliman, Kamis, 8 Agustus 2024.
Petani cengkeh ini menjelaskan, Sudirman datang dengan dikawal 4 perwiranya. Sedangkan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) lainnya bersembunyi di sekitar hutan. Kisah kedatangan Sudirman itu diabadikan dalam memoar yang tertempel di kediaman Badal. Pada poster berwarna hijau itu diceritakan pula alasan memilih rumah Badal sebagai lokasi persembunyian.
Pangadianto menyebut bahwa Sudirman menghindari rumah perangkat desa karena sering dikunjungi orang. Sang jenderal lebih memilih tinggal di kediaman Badal yang kala itu masih berdinding anyaman bambu serta berlantai tanah. Rumah ini dirasa lebih aman sebab lokasinya terhalang rerumpunan bambu dan rimbun pepohonan.
Untuk menandai pernah singgahnya Sudirman di Goliman, kediaman milik Badal diberikan plakat bertuliskan “Sasana Pangripta Gelar Panglima Besar Jenderal Soedirman”. Sekitar 10 tahun lalu, gedung direnovasi dengan gaya arsitektur joglo khas Jawa. Wajah rumah kini sudah berubah modern, namun kamar tidur Sudirman masih dipertahankan.
“Dari cerita para pendahulu, Pak Dirman datang dengan kondisi sakit-sakitan,” kata Aji Urip Dwi Sanyoto, cicit Badal yang saat ini menghuni rumah singgah tersebut.
Aji menambahkan, benda-benda yang dulu digunakan Sudirman di dalam kamar masih dirawat. Bahkan, tatanan interiornya tak berubah meskipun hampir 76 tahun berlalu. Dipan beralaskan tikar pandan, meja, kursi, serta kendi, tetap di posisi aslinya seperti tahun 1948. Sedangkan cangkir minum sudah pecah, jadi sekarang tinggal kendinya saja.
Menurut kisah yang dituturkan keluarga Aji, dulu rumah tersebut ramai dikunjungi orang-orang yang hendak mengenang perjuangan Sudirman. Di antaranya pegiat sejarah, pecinta alam, maupun para tentara. Yang paling sering yaitu anggota TNI, mereka biasanya menginap satu atau dua malam di kediaman Badal.
“Jenderal Sudirman di Goliman sekitar 9 hari. Itu durasi singgah terlama ketika gerilya, biasanya 2-3 hari pindah,” kata Novi Bahrul Munif, anggota Pelestari Sejarah-Budaya Kadhiri (Pasak).
Menurut Novi, kedatangan Sudirman di Kediri pertama kali terdeteksi di sebuah rumah di Jalan MH. Thamrin, Kelurahan Kemasan, Kota Kediri. Perjalanan gerilya kesatuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dilanjutkan ke barat menuju Gunung Wilis. Rombongan sempat berhenti di Dusun Karangnongko Desa Semen, lalu ke utara menembus hutan hingga ke Goliman.
Ketika sampai di Goliman, Sudirman yang dalam kondisi sakit tetap berpikir keras mengatur taktik perang gerilya. Kondisi geografis desa di lereng Wilis itu lebih tinggi, sehingga membuat pasukan gerilya leluasa memantau pergerakan tentara Belanda.
“Dari Goliman, perjalanan dilanjutkan ke Bajulan, Nganjuk,” ujar Novi.
Jenderal Sudirman meninggalkan Goliman pada 6 Januari 1949. Ketika sudah tiba di Nganjuk, Sudirman meminta Badal menemuinya di Bajulan. Dia diberi sejumlah uang serta selembar jarik, sebagai ucapan terima kasih karena sudah menyediakan tempat istirahat.
Rute perjalanan Sudirman di Kediri ini kemudian diperingati dalam kegiatan bertajuk Kediri-Bajulan. Dusun Goliman yang menjadi persinggahan Sudirman turut dilintasi ribuan peserta napak tilas. Sayangnya, acara itu terakhir digelar pada 2019. Hingga kini, belum ada informasi Kediri-Bajulan digelar kembali.
Jenderal Sudirman tak pernah menjejakkan kaki dalam perjalanan gerilya di sepanjang lereng Gunung Wilis. Para tentara bahu-membahu memikulnya dengan tandu. Namun, di kamar sebuah rumah di Desa Goliman, jejak kakinya tak pernah bisa dihapus. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post