Tiga pelajar SMA Negeri 8 Kota Kediri, Jawa Timur, berhasil menaklukkan Mahameru: puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Berbekal tabungan dari menyisihkan uang saku sekolah, mereka nekat mendaki dengan peralatan seadanya. Bibir pecah, mimisan, dan logistik pas-pasan, tak menghalangi tekat menyapu embun yang mengkristal menjadi es. Mereka pantang surut melangkah, jika belum berhasil mencapai puncak, rumah para dewa. Humaniko Silangit, salah satu anggota tim, menuliskan petualangan mereka untuk kediripedia.com, yang ditranskrip dari catatan hariannya. Berikut kisah mereka.
SETENGAH melompat, saya menjejakkan kaki di halaman stasiun Kota Kediri, Jawa Timur. Scooter yang dikendarai bapak saya limbung, gara-gara saya turun mendadak dari jok belakang. Tak sempat berbasa-basi, usai mencium tangan bapak, saya buru-buru berlari menuju pintu peron stasiun. Petugas yang berdiri di depan pintu, tergopoh-gopoh membantu mengangkat peralatan yang saya tenteng. Dua teman saya ikut membimbing menuju meja pengecekan tiket. “Ayo cepat, kereta sudah mau berangkat,” kata petugas yang menyambut saya di halaman stasiun.
Dari sela daun pintu peron, terlihat bapak masih duduk di Vespa-nya, melambaikan tangan sambil geleng-geleng kepala. Wajahnya perlahan hilang, ketika tepat pukul 08.30 WIB, kereta Dhaha Penataran yang membawa kami menuju Malang mulai bergerak. Saat itulah saya sadari, mimpi menaklukkan Mahameru: puncak Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, dimulai. Tidak terbayang, apakah kami bisa mencapai puncak gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Sumatera dan Gunung Rinjani di Lombok itu.
Selasa, 21 Juli 2015 itu, adalah hari kelima lebaran dalam rangkaian Hari Raya Idhul Fitri. Sebenarnya kurang tepat meninggalkan rumah di kala masih banyak keluarga dan teman saling berkunjung, bersilaturahmi, bermaaf-maafan. Tapi apa boleh buat. Saya (Humaniko Silangit), dan dua teman: Muhammad Farid dan Yunus Zakharia, sudah merencanakan perjalanan ini sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Kami yang sama-sama bersekolah di SMA Negeri 8 Kota Kediri pernah berjanji, jika kelak naik kelas 12 (kelas 3), kami ingin membuat perjalanan pendakian yang benar-benar menantang.
Sejak mulai kecanduan naik gunung, menjejakkan kaki di puncak Mahameru adalah mimpi yang terus membuat kami gelisah. Sebelumnya, beberapa gunung sudah kami coba jejaki. Diantaranya, Gunung Kelud, Gunung Klotok, dan Gunung Wilis. Ketika muncul gagasan mendaki Semeru, belasan teman yang biasanya ikut naik gunung menyatakan mundur. Hanya kami bertiga yang akhirnya memastikan untuk meneruskan rencana naik Gunung Semeru. “Lebih baik kecanduan naik gunung, daripada kecanduan narkoba,” kata Yunus, sebelum kami berangkat.
Sekitar dua bulan kami mempersiapkan semuanya. Mulai dari mencari informasi di internet tentang Gunung Semeru yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), mendaftar online ke lembaga yang mengelola kawasan Semeru, membeli tiket kereta, hingga menyiapkan printilan peralatan yang harus kami bawa ke gunung yang telah banyak menelan korban jiwa dari kalangan pendaki. Sempat ciut nyali kami ketika semakin kami pelajari semua hal tentang Semeru, semakin terasa sekali kekurangan persiapan kami. Instrumen ideal pendakian yang rata-rata harganya mahal, membuat kami tidak berani terbuka kepada orangtua kami. Takut membuat mereka kesulitan harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Ijin dan doa restu orangtua sudah merupakan modal paling mahal dalam ekspedisi menuju puncak setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Untuk menyiasati hal itu, mulailah kami merancang strategi agar bisa menutupi segala kebutuhan biaya. Jalan satu-satunya adalah: menabung, menyisihkan uang saku sejak dua bulan lalu. Selain itu juga menghemat pengeluaran. Seperti kereta, kami sengaja beli tiket ekonomi tanpa kursi (berdiri) seharga Rp 12 ribu per orang. Kebutuhan logistik, semuanya kami bawa dari rumah. Beras, air minum, lauk pauk, terpaksa minta orangtua. “Pokoknya kalau sudah mepet banget, baru minta orangtua,’ kata Farid.
Mendekati hari H, peralatan masih dirasa kurang. Kami hanya memiliki satu carrier, tas ransel punggung bervolume 80 kilogram. Padahal kami memerlukan dua buah carrier lagi dengan ukuran yang sama. Untung banyak teman yang mendukung dan ikhlas meminjamkan peralatan yang kami butuhkan, termasuk beberapa piranti survival seperti pisau, senter, dan alat memasak. Sepatu, juga kami pakai seadanya. Bahkan, Farid malah membawa sandal japit yang kelak benar-benar dia pakai menaklukkan Semeru yang berada di wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang itu.
Tiba di stasiun Malang, sopir angkutan langsung menawari untuk mengantar ke Tumpang, pintu masuk ke arah kaki Gunung Semeru. Mungkin karena melihat tas kami yang seperti kulkas, mereka tahu kalau kami hendak mendaki Semeru. Sang sopir meminta bayaran Rp 100 ribu dalam perjalanan 1,5 jam menuju Tumpang. Karena tak ada pilihan, kami pun menerima tawaran itu.
Dari Tumpang, perjalanan diteruskan dengan naik jeep sewaan menuju Ranu Pani. Banyak jeep berkeliaran yang siap mengantarkan pendaki ke Ranu Pani. Ada Toyota Land Cruiser kanvas, Land Rover, serta Daihatsu Taft keluaran awal yang akrab disebut Taft Kebo atau Taft Kotak. Tarifnya, berkisar hampir Rp 1 juta sekali jalan.
Di saat kami sedang pusing menghitung uang saku untuk menyewa jeep, seorang ibu muda mendekati kami, dan mengajak kami ikut dalam rombongannya. Semula kami menolak karena takut merepotkan. Tapi ibu dan teman-temannya memaksa kami. Maka kami lemparlah ransel-ransel dan bawaan kami ke bak jeep yang telah disewa ibu itu. “Mungkin beliau tahu uang saku kami pas-pasan dari tampang kami yang kayak gembel,” kata Farid terkekeh-kekeh mengingat peristiwa itu. “Sepertinya mereka rombongan artis dari Jakarta.”
Selama perjalanan sekitar dua jam menuju Ranu Pani, seluruh penumpang jeep berfoto, menikmati pemandangan yang luar biasa. Salah satu yang menjadi primadona jalur Tumpang-Ranu Pani adalah bukit teletubbies yang landscape-nya memang mirip dengan suasana di film serial anak-anak Teletubbies. Setelah menempuh jarak dua jam, sampailah kami di Ranu Pani. Dalam bahasa setempat, ranu artinya danau. Danau ini berada di ketinggian 2.100 MDPL, dengan suhu minimal minus 4 derajat celcius. Danau seluas 5,6 hektare itu berada di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.
Di Ranu Pani kami segera mendirikan tenda, lantas berleha-leha di sekitar danau. Menjelang malam tiba, perut mulai lapar. Karena belum sempat memasak, kami membeli makanan di warung yang harganya kami sesuaikan dengan uang saku yang pas-pasan. Usai makan, kami lebih banyak berada di dalam tenda, karena dingin mulai menyergap perlahan hingga kami tertidur.
Esok harinya, ketika kami hendak berwudhu untuk menunaikan shalat subuh, sempat kaget karena angin sangat dingin. Tangan terasa membeku. Tapi, air dingin bukan halangan untuk terus menunaikan ibadah berjamaah di dekat tenda. Sebelum matahari terbit, kami segera bergegas, antri mengikuti briefing yang diberikan tim pengelola kawasan Semeru. Ratusan pendaki berjubel di depan kantor yang digunakan briefing, hingga banyak yang hanya berdiri di luar, tidak bisa mendengarkan secara jelas apa yang sebenarnya dijelaskan.
Usai mengikuti penjelasan dan panduan selama dua jam, kami menyerahkan bukti telah mendaftar pendakian secara online. Bukti pendaftaran diperlukan karena jumlah pendaki Semeru dibatasi hanya 500 orang per hari. Saat heregistrasi, semua perbekalan dan peralatan pendakian kami dicek. Pengecekan dilakukan untuk memastikan bahwa pendaki benar-benar mempersiapkan perbekalan yang diperlukan. Karena setelah lepas dari Ranu Pani, daya survival menjadi tanggungjawab sepenuhnya para pendaki. Alhamdulillah, meskipun peralatan kami seadanya, kami dinyatakan lolos dan diijinkan meneruskan pendakian ke puncak Mahameru.
Tepat pukul 11.00 WIB, kami memulai tracking dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo yang jaraknya kira-kira 10,5 kilometer (menurut papan penunjuk jalan). Ada empat pos yang harus kami lalui menuju Ranu Kumbolo. Di rute tanjakan panjang ini, Yunus sempat terpisah dengan kami. Kekuatan fisiknya mulai melemah sehingga jalannya kian lama kian pelan. Beberapa kali, saya dan Farid harus memperlambat langkah agar Yunus bisa terus bersama kami. Tapi jika kami terus memperlambat langkah, semangat kami lama-lama juga bisa kendor. Maka kami bersepakat akan terus berjalan dengan normal sesuai kekuatan masing-masing, dan akan bertemu di Ranu Kumbolo. Sekitar 4,5 jam berjalan, akhirnya saya dan Farid sampai di Ranu Kumbolo. Hari sudah mulai gelap, tapi belum ada tanda-tanda Yunus tiba di Ranu Kumbolo. Jika dua jam kemudian Yunus belum juga sampai, saya dan Farid bersepakat akan turun lagi mencari Yunus. Alhamdulillah, 1,5 jam kemudian Yunus tiba, namun kondisinya sangat lemah.
Agar segera bisa beristirahat dan memulihkan kekuatan, kami segera mendirikan tenda. Ditambah dengan suhu dingin yang mencapai minus 5 derajat celcius, kami tak ingin mengambil resiko terkena hipotermia. Apalagi bulan Juli merupakan waktu dimana suhu dingin cenderung ekstrim dan bisa tidak terkendali akibat musim kemarau. Semalaman kami bertiga hanya berada di dalam tenda. Seluruh perlengkapan baju tebal yang kami bawa, kami balutkan ke tubuh, termasuk sleeping bag. Di tengah malam buta, kami sempat mengontrol tenda, dan permukaan tenda benar-benar sudah diselimuti es. Barangkali itu embun yang berubah wujud menjadi es karena hawa dingin.
Entah tidur atau tidak, ketika kami membuka pintu tenda, tampak samar-samar garis sinar matahari di pemukaan danau. Sunrise…, rupanya hari telah berganti. Ini adalah hari ketiga perjalanan kami menuju puncak Mahameru. Hingga langit cerah, tenda kami masih berselimut es. Suhu lebih dingin dibanding di Ranu Pani. Kami pun berusaha mengusir hawa dingin dengan berolahraga sambil memotret suasana danau seluas 15 hektare itu. Di ketinggian 2.400 MDPL, kami berusaha memasak nasi. Tapi entah apa yang terjadi, nasi yang kami tanak rusak. Mungkin karena kompor rusak, api mendadak padam. “Dengan menggunakan parafin, akhirnya kami hanya memasak mie instan dengan cepat, agar bisa melanjutkan perjalanan ke Kalimati,” kata Farid.
Tracking menuju Kalimati perlu keteguhan hati yang lapang karena harus melewati rute fenomenal yang terkenal dengan sebutan Tanjakan Cinta. Di rute ini ada mitos yang melarang pendaki menoleh ke belakang. Kami tidak tahu apa makna mitos itu. Dan kami memilih untuk tidak memikirkannya. Tentu saja kami menolah ke belakang, karena Ranu Kumbolo tampak sangat indah dilihat dari Tanjakan Cinta. Yang jelas, tanjakan ini melewati jalan setapak dengan kemiringan 45 derajat. Dengan keletihan yang amat sangat, kami terus melaju menuju savanna luas yang dikenal dengan sebutan Oro-oro Ombo. Di musim hujan, menurut teman sesama pendaki, banyak bunga berbagai jenis bermekaran. Namun karena bulan Juli adalah musim kemarau, kami hanya bertemu dengan bunga yang mengering. Lepas dari Oro-oro Ombo, kami memutuskan berhenti di Cemoro Kandang, kawasan hutan yang dipenuhi pohon cemara.
Lelah, lapar, haus, mendera. Uniknya, di tempat yang jauh dari pemukiman itu ada seorang porter yang menjual semangka. Tanpa berpikir panjang, kami membeli potongan kecil yang harganya Rp 2.500 per potong. Harga itu tentu mahal disbanding jika beli di pasar. Tapi mengingat perjuangan sang porter membawa buah semangka, kami ikhlas membayar. Selama perjalanan, banyak pendaki yang menggunakan jasa porter. Mereka adalah para pemikul barang yang dibayar untuk membawakan barang dan peralatan pendakian. Bahkan porter itu jugalah yang bertugas memasak, menyiapkan makanan, dan menyajikan pada para pendaki. Meskipun kami tidak mengunakan jasa mereka karena tidak mampu membayar, kami salut dengan kegigihan mereka memanggul barang sangat banyak milik para pendaki. “Merekalah pendaki gunung yang sejati,” kata Yunus dengan suara lirih.
Dari Cemoro kandang, kami menuju Jambangan di ketinggian 2.600 MDPL. Dari situ, puncak Mahameru terlihat jelas. Tak ingin terlena dengan pemandangan Mahameru yang menakjubkan, kami kembali bergerak menuju Kalimati, agar tidak terperangkap malam. Sekitar pukul 16.30 WIB, saya dan Farid sampai di Kalimati. Seperti track ke Ranu Kumbolo, Yunus sampai di Kalimati juga lebih lama, karena langkahnya yang pelan. Kali ini bahkan 3,5 jam kemudian Yunus baru bertemu kami, yaitu pada pukul 18.00, di saat hari mulai gelap.
Begitu Yunus tiba, kami langsung mendirikan tenda di Kalimati yang merupakan tempat perkemahan terakhir menuju puncak Mahameru. Kami bongkar bekal. Lagi-lagi menu andalan kami adalah mie instan. Namun kali ini kami buka juga sekaleng sarden, bekal tambahan dari Ibu. Usai makan, energi kami benar-benar habis. Kami pun tertidur. Kalimati yang berada di ketinggian 2.700 MDPL benar-benar menyuguhkan hawa dingin yang lebih menusuk. Sleeping bag yang kami pakai seperti tertembus es. Dengan suhu mencapai minus 10 derajat celcius, mungkin bisa lebih dingin lagi, kami bertiga benar-benar kelelahan. Kami bersepakat akan bermalam lagi di Kalimati hingga kekuatan fisik benar-benar pulih.
Setelah dua hari dua malam kami beristirahat dan memulihkan kondisi di Kalimati, kami bertiga mencoba bertanya kepada diri kami masing-masing, apakah masih sanggup melawan track terakhir menuju puncak Mahameru. Jarak Kalimati ke puncak Mahameru hanya sekitar 2,7 kilometer. Tapi ini merupakan rute terakhir yang dalam sejarah pendakian telah banyak menelan korban jiwa. Summit attack menaklukkan puncak Mahameru adalah target kami bertiga. Tapi jika memang ada yang merasa tidak sanggup, tidak boleh memaksakandiri, dan harus secara ksatriya berhenti. Yunus akhirnya yang mengacungkan telunjuk, memutuskan berhenti di Kalimati. Saya dan Farid sangat menghormati keputusan itu. “Keputusanmu tidak membuat kamu gagal Yunus,” kata saya pada Yunus. “Prinsip kita, keberhasilan mendaki gunung adalah jika bisa pulang ke rumah dengan selamat,” tambah Farid. Kami bertiga berangkulan, disaksikan puncak Mahameru yang terus mengepulkan debu panas di kejauhan.
Pada hari Jum’at, 24 Juli 2015, sekitar pukul 22.00 WIB malam, saya dan Farid mengecek kembali semua persiapan untuk mendaki puncak tertinggi di Pulau Jawa. Senter sebagai alat penerangan dan kamera kami bawa serta. Para pendaki kebanyakan membawa tongkat untuk menahan badan ketika menanjak di kemiringan hampir tegak lurus menuju puncak Mahameru. Saya dan Farid memungut kayu seadanya, sekadar agar kami yakin bisa sampai ke puncak. Satu setangah jam kemudian, sekitar pukul 23.30 WIB, di tengah kegelapan malam, saya dan Farid mulai meninggalkan tenda, dimana Yunus melepas kami dengan dukungan doa dan semangat.
Dalam perjalanan di tengah malam itu, kami menjumpai banyak tanda-tanda seperti batu nisan kuburan, bertebaran di kawasan Arcopodo. Nisan-nisan itu untuk mengenang para pendaki yang tewas ketika hendak menuju puncak Mahameru. Dari pandangan saya di tengah kegelapan malam, samar-samar terlihat, bahwa Arcopodo adalah tanah lapang, entah luasnya berapa. Konon, di kawasan ini ada dua arca kembar bercokol. Menurut seorang pendaki, kisah Arcopodo yang artinya arca kembar ini, sangat berkaitan dengan sejarah kerajaan Majapahit. Kelak, jika ada kesempatan, kami ingin menggali sejarah Arcopodo, termasuk kenapa banyak menelan korban jiwa.
Hari telah berganti. Setelah 2 jam berjalan dari Kalimati, sekitar pukul 01.30 WIB, kami tiba di track berpasir. Ini adalah rute paling menguji kesabaran dan benar-benar menguras tenaga. Saya, Farid, dan beberapa pendaki lain, sangat kesulitan melangkah. Bagaimana tidak. Karena kondisi tanah yang labil, penuh pasir dan bebatuan, satu langkah ke depan, seringkali merosot separuh langkah ke belakang. Begitu berulang-ulang, hingga kami sudah tidak bisa menghitung lagi sudah berapa kali kami merosot, mundur, dan jatuh. Di tengah kelelahan dan nyaris putus asa, kantuk tiba-tiba menyergap. Mata tidak bisa lagi diajak kompromi. Tanpa berpikir panjang, saya merebahkan diri di atas pasir dan bebatuan, lelap tertidur sekitar 1 jam.
Ketika terbangun, saya sudah merasa tidak kuat lagi. Saya tidak tahu, dimana sebenarnya saya sedang berada. Satu-satunya aktifitas yang saya lakukan sambil rabahan adalah memainkan sinar. Senter saya gunakan untuk menyoroti langkah-langkah pendaki yang lewat di dekat badan saya. Di titik nyaris putus asa, Farid terus memompa semangat. Dia bahkan rela membawakan sebagian barang bawaan saya. Dia selalu bilang bahwa perjalanan kurang 5 menit lagi. Padahal saya tahu, jalan masih terjal dan butuh beberapa jam lagi untuk sampai ke puncak Mahameru. Dorongan lelaki yang sejak berangkat dari Kediri bersandzal jepit itulah, yang akhirnya memang mampu membangkitkan semangat saya, kembali melangkah melawan jalan terjal mendaki.
Setelah sembilan jam berjalan dari Kalimati, Sabtu, 25 Juli 2015, tepat pukul 08.30 WIB, saya dan Farid akhirnya sampai di puncak Mahameru, tanah tertinggi di Pulau Jawa. Samudera di atas awan di ketinggian 3.676 MDPL, berhasil kami jejaki. “Selamat kawan,” kata Farid menjabat tangan saya. Kami tak sanggup lagi berkata apa-apa. Kelelahan yang berhari-hari kami rasakan, hilang ditelan awan.
Setelah sujud syukur, rasanya ingin berlama-lama di puncak Mahameru. Kami seolah bisa melihat seluruh gunung di Pulau Jawa. Langit terasa dekat, meskipun kami sering mendengar ungkapan, di atas langit masih ada langit.
Hanya sekitar 45 menit kami berada di puncak Mahameru, yang konon merupakan rumah para dewa. Setelah mengabadikan pandangan mata, kami bersiap turun. Peraturan dari pengelola kawasan Semeru hanya memperbolehkan pendaki berada di puncak Mahameru sampai pukul 10.00 WIB. Karena pada jam itu, angin yang membawa awan panas dari kawah Jonggring Saloka, mengarah ke track pendakian. Jika tidak segera meninggalkan puncak sebelum jam itu, bisa terkena awan panas dan gas beracun yang bisa menyebabkan kematian. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, adalah salah seorang pendaki yang kabarnya tewas akibat terkena gas beracun dari kawah Jonggring Saloka, pada 16 Desember 1969. Sayang, ketika kami hendak mengabadikan lokasi tempat meninggalnya Gie, baterai kamera kami habis. Kami pun bergegas turun. Selama 45 menit di puncak Mahameru, cukuplah bagi kami. Kami masih ingin meraih cita-cita, tak ingin menyudahi hidup di puncak Mahameru.
Perjalanan turun sangatlah asyik, karena tinggal merosot dari puncak. Tapi harus hati-hati dan menjaga kesimbangan, karena bisa terperosok ke jurang tengkorak yang popular dengan sebutan Blank 75. Benarlah, hanya memakan waktu satu jam untuk turun ke Kalimati. Tepat pukul 10.30 WIB, kami sampai di tenda, tempat dimana Yunus menunggu saya dan Farid. “Saya bangga pada kalian berdua,” kata Yunus sambil merangkul kami. “Sejak kalian menuju puncak, saya selalu cemas dan gelisah memikirkan kalian.”
Meskipun lelah dan tenaga terkuras, kami bertiga harus secepatnya meninggalkan Kalimati, karena kami sudah memesan tiket kereta dari Malang menuju Kediri untuk perjalanan hari Minggu sore besok. Jadi setidaknya kami hanya punya waktu sekitar 24 jam, jalan dari Kalimati ke Stasiun Malang. Tapi mengingat kondisi Yunus yang sudah sangat kelelahan, Yunus kami persilahkan jalan lebih dulu menuju Ranu Pani agar lebih punya waktu panjang menempuh perjalanan pulang. Sementara, saya dan Farid bisa beristirahat sejenak di Kalimati setelah dihajar summit attack.
Setelah Yunus berjalan pulang menuju Ranu Pani, saya dan Farid sempat tertidur 3 jam di Kalimati. Dengan beban berat perbekalan plus sampah yang wajib dibawa turun, pada Sabtu, 25 Juli 2015 sekitar pukul 16.30 WIB, saya dan Farid melangkah, meninggalkan Kalimati. Menjelang Ranu Pani, sekitar pukul 23.00 WIB, kami sudah tidak kuat lagi berjalan dan memutuskan menginap di pos 2. Kawasan pos 2 sebenarnya termasuk zona larangan menginap karena seringkali muncul binatang buas. Tapi kami sudah tidak bisa memikirkan hal itu karena kondisi tubuh yang sangat letih, bibir pecah-pecah, dan sempat beberapa kali mimisan.
Pukul 08.30 WIB, kami terbangun dan langsung bergegas menuju Ranu Pani yang kami tempuh selama 1,5 jam. Di Ranu Pani, Yunus sudah menunggu. Kami bertiga langsung menumpang truk sayur dengan ongkos Rp 60 ribu per orang menuju Tumpang, Malang. Di Tumpang kami sempatkan membeli cinderamata yang harganya terjangkau sisa uang saku kami, yaitu gantungan kunci, stiker, dan gelang Mahameru, sebagai pertanda bahwa kami telah sampai di tanah tertinggi, tempat tinggal para dewa.
Dengan naik angkutan kota dari Tumpang, pada pukul 15.30 WIB, kami tiba di stasiun Kota Malang, dimana kereta api Dhaha Penataran yang akan membawa kami pulang ke Kediri sudah menunggu. Di kereta, kami tak banyak bercakap. Sambil berdiri karena tiket kami tanpa tempat duduk, pikiran masih melayang ke langkah demi langkah yang kami ayunkan menuju puncak Mahameru.
Tiga jam setengah kemudian, kereta melambat. Turun dari kereta, kami berpencar, pulang ke rumah masing-masing. Kami tidak tahu, apakah kelak akan kembali menjejakkan kaki ke tanah tertinggi di Pulau Jawa itu. Kami semakin yakin bahwa Allah Maha Besar. Tidak mudah menaklukkan ciptaan-Nya. (Humaniko Silangit)
Netiser :
Humaniko Silangit, pelajar kelas 12 IPS-5 SMA Negeri 8 Kota Kediri
Muhammad Farid, pelajar kelas 12 IPS-4 SMA Negeri 8 Kota Kediri
Yunus Zakharia, pelajar kelas 12 IPS-5 SMA Negeri 8 Kota Kediri
Transkrip : Dani Aditama, pelajar kelas 12 IPS-2 SMS Negeri 8 Kota Kediri
Editor : DUM
Foto : Niko, Farid dan Yunus