“…. Mau dibawa ke mana negeri ini? Katanya ing ngarso sung tulodho, di depan sampean belani angkoro murko. Katanya ing madya mangun karso. Kenyataannya, di tengah sampean koleksi istri dan bondo. Katanya tut wuri handayani, lha di belakang kok sampean ahli korupsi….”
Bocah SD bernama Muhammad Firman Adi ini berpuisi seraya mengacungkan bambu runcing yang ujungnya terikat sang saka merah putih. Dia menggugat krisis keteladanan pada bangsa yang sudah 70 tahun merdeka ini.
Firman Adi adalah satu dari sekian orang yang mengisi mimbar bebas di bawah pohon kanthil halaman Situs Bung Karno, di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Senin (17/08/2015) sore.
“Ini mewadahi pelajar, mahasiswa, seniman dan masyarakat. Ada yang ingin membacakan puisi ada yang orasi kebudayaan dan kebangsaan, ada juga yang berpidato. Atau monolog teater,” kata Juwaini, penyelenggara acara .
Puisi-puisi mereka membakar rasa patriotik, kebanggaan berbangsa Indonesia. Tak jarang mengumbar protes. Keterjajahan oleh bangsa sendiri dalam konteks kekinian.
“….. Jika saudara pahami, kita sedang menangis di negeri kita sendiri. Pancasila kita kemanakan saudara-saudara?!” pekik Mujiono. Diiringi biola yang dimainkan oleh Mbah War, orasi lantang pria yang akrab dipanggil Pak Nono ini membuat bulu kuduk merinding. “Kemanusiaan yang terikat kemanunggalan dengan Ketuhanan telah pergi jauh. Menangiskah engkau….Ini gimana negeri ini? 70 tahun kita merdeka, seharusnya kita menjadi kristalisasi bangsa yang utuh, tidak mengencingi ideologi kita sendiri….. “
Dan, di bawah pohon kanthil, satu per satu mereka mempertanyakan makna kemerdekaan.
“Faktanya bangsa dan negara yang diberi sumber daya besar seperti ini, apakah sudah bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Bangsa Indonesia yang merdeka 70 tahun, apakah rakyatnya telah mendapatkan pendidikan yang layak, bangsa yang merdeka 70 tahun dilindungi hak dan kewajibannya, dilindungi oleh hukum. Pejabat negara belum bisa memerdekakan rakyatnya,” papar Juwaini, sarat nada tanya. (Danu Sukendro)