SHALAWAT terdengar ketika Sulthoni duduk di mimbar imam. Ketua takmir Masjid Bayem, Karangdinoyo, Kabupaten Kediri itu baru saja selesai shalat ashar. Sambil menunjuk lantai, dia mengatakan di bawah tempat duduknya terdapat bunker peninggalan Belanda.
“Masjid ini dulunya pabrik agave atau serat nanas,” ujar pria 67 tahun itu, Rabu, 19 Februari 2025.
Dari kisah yang dituturkan para pendahulunya, pabrik itu tak lagi beroperasi ketika Indonesia merdeka. Bangunan utama dirobohkan, besi-besi dijarah, batu bata dicongkel untuk dijadikan pondasi rumah warga.
Kala itu warga Karangdinoyo sudah lama memendam amarah pada pabrik. Penyebabnya, limbah pembuangan mencemari sumber air. Tak sedikit masyarakat yang mengalami penyakit gatal-gatal.
Usai dihancurkan penduduk, sisa konstruksi yang masih tersisa di antaranya bunker, pipa saluran air sepanjang 20 meter, struktur pondasi, dan selasar cerobong asap. Beberapa tahun lalu, warga masih menemukan besi rel kereta uap yang terpendam di tanah sekitar Masjid Bayem.

Selama puluhan tahun, reruntuhan pabrik serat nanas itu dibiarkan terbengkalai. Masyarakat Dusun Karangdinoyo tak ada yang berani mendekat. Bekas pabrik yang tertutup pepohonan dianggap angker. Sedangkan bunker jadi sarang ular weling, piton, dan burung walet.
“Pada 1984, bekas pabrik ini dibangun masjid. Idenya berawal dari ayah saya, Kiai Khamim,” kata Sulthoni.
Lebih jauh, lulusan Pondok Pesantren Kapurejo Pagu ini menjelaskan, status tanah masjid merupakan wakaf dari Mbah Samdat. Dia adalah modin atau perangkat desa di bidang keagamaan di Karangdinoyo pada 1980-an. KH Hamim Tohari Djazuli atau Gus Miek dari Pondok Pesantren Ploso juga andil dalam pendirian Masjid Bayem.
Proses pembangunan dikerjakan dengan pembuatan dinding baru di atas pondasi bekas pabrik. Luas dan lebarnya dicocokkan dengan struktur lama. Jika ada yang berbeda yaitu sudut konstruksi yang dibuat agak miring agar menghadap kiblat.
Desain bangunan masjid awalnya mengusung konsep joglo. Penyangga atap terdiri dari empat pilar kayu. Akibat letusan Gunung Kelud pada 2014, masjid nyaris roboh. Sehingga, bangunan terpaksa dirombak total. Wajah Masjid Bayem kini berkonsep modern.
“Lubang saluran air dan bunker tidak dibongkar, bagi kami itu bersejarah,” kata pria 6 anak itu.

Dia masih mengingat peristiwa erupsi Kelud pada 1990. Dahsyatnya letusan membuat kawasan Karangdinoyo dilanda hujan batu. Sulthoni, keluarga, dan sejumlah tetangga sekitar, berlindung di bunker Masjid Bayem.
Didin Saputro, ketua Pelestari Sejarah-Budaya Kadhiri (PASAK), menilai pabrik yang kini dijadikan Masjid Bayem adalah industri besar era Belanda. Bernama Vezelfabriek, industri ini mengolah daun serat nanas menjadi karung goni dan tali kapal yang dikelola perusahaan swasta Belanda, Handels Vereeniging Amsterdam (HVA).
“Hampir di semua area pertanian lereng Kelud dulunya terhampar tanaman agave,” kata Didin.
Tumbuhan agave merupakan tanaman perdu yang berasal dari Meksiko Tenggara. Tanaman ini masih satu kerabat dengan nanas. Bedanya, daun-daun agave berukuran lebih panjang mirip pedang. Agave tumbuh subur di tanah yang mengandung belerang seperti di lereng Kelud.

Daun agave diambil seratnya untuk dijadikan kain goni dan tali dengan cara dijemur, disisir, kemudian diikat. Sementara jantung atau buah tanaman bernama latin sisalana itu digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan tequila.
Dari kisah di balik Masjid Bayem itu, Sulthoni kerap diminta mengelola masjid sebagai destinasi wisata sejarah. Namun, usulan itu ditolak.
“Tanah ini diwakafkan hanya untuk masjid dan dibangun pondok pesantren, kalau untuk wisata ya jangan,” kata Sulthoni.
Beberapa tahun lalu, Sulthoni mendapat informasi bahwa di samping masjid terdapat makam ulama. Kabar itu tak dipercaya begitu saja. Dia hanya fokus mengelola Masjid Bayem sebagai kegiatan ibadah seperti TPQ, pengajian kitab, dan membaca shalawat nariyah. (Kholisul Fatikhin)







Discussion about this post