ISTILAH pandhalungan atau pendalungan berasal dari kata dhalung yang berarti periuk besar dari logam. Ini adalah metafora untuk mendefinisikan kawasan yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang berbeda, kemudian terjadi proses percampuran budaya. Baik itu dari segi bahasa, dialek, hingga produk kesenian.
Entitas masyarakat yang disebut pendalungan berada di wilayah tapal kuda atau ujung timur Pulau Jawa. Di antaranya, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Banyuwangi.
Dalam kajian historis, kawasan tersebut menjadi tujuan migrasi orang Madura serta masyarakat etnis Jawa di era kolonial Belanda. Kondisi itu menyebabkan terjadinya silang kebudayaan antar suku. Bukan hanya Jawa dan Madura, tapi juga dengan masyarakat asli Osing dan Tengger, hingga etnis pendatang lainnya seperti Tionghoa dan Arab.
Sebuah buku puisi berjudul “Gurit Krincing Pandhalungan” yang ditulis oleh Partu Sukarto, semakin meramaikan khasanah sastra Pendalungan. Bertempat di panggung semi terbuka Rumah Budaya Pandhalungan Jember pada Minggu, 13 Februari 2022, peluncuran buku puisi dikemas dalam bentuk talkshow dan pertunjukan musik-puisi-tari. Grup campursari Gonjing Miring dan sanggar tari Cemara Biru menjadi tulang punggung pertunjukan.
Hampir semua isi buku (27 puisi) adalah puisi berbahasa Jawa, namun ada juga satu-dua yang berbahasa Madura, Osing, bahkan bahasa Jemberan. Akulturasi antara bahasa Jawa-Madura di Jember menghasilkan dialek baru, yang oleh para peneliti disebut sebagai bahasa Jawa dialek Jemberan. Dialek unik inilah yang digunakan masyarakat Jember dalam berkomunikasi sehari-hari.
Dalam khasanah sastra Jawa dikenal sebuah genre yang disebut geguritan. Sejak dulu, genre ini berkembang luas di berbagai daerah yang mayoritas masyarakatnya berbahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sejauh yang saya ketahui, sebagian besar masyarakat Jawa sepakat bahwa menulis puisi berbahasa Jawa merupakan upaya nyata yang dapat kita lakukan untuk melestarikan budaya Jawa. Dan memang, menulis geguritan merupakan salah satu cara berkesenian yang disukai orang Jawa.
Geguritan sesungguhnya bukanlah jenis sastra baru, melainkan sudah ada semenjak sistem politik masyarakat Jawa masih berada dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Ketika itu, orang yang menulis geguritan hanya para pujangga. Oleh karena itu tidak banyak jumlah orang yang dapat menulis geguritan.
Namun, seiring dengan memudarnya pengaruh kerajaan dan menguatnya demokratisasi di segala bidang, banyak orang yang belajar menulis puisi berbahasa Jawa. Mereka tertarik untuk melakukannya, selain karena alasan estetis, juga karena tumbuh kesadaran untuk melestarikan sastra Jawa. Maka geguritan tidak lagi menjadi monopoli para pujangga keraton; di sekolah-sekolah para siswa diajak menulis geguritan; di berbagai pondon pesantren para santri juga tertarik menulis geguritan. Inilah yang pada akhirnya menjadikan geguritan disebut sebagai folk literature.

Pendek kata, setelah era penjajahan kolonial berakhir dan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan, hampir seluruh sisi kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Setiap orang dapat melenggang ke arah hidup ideal yang diimajinasikannya. Terlebih setelah masyarakat di seluruh dunia menghadapi tatanan kehidupan dunia baru, yakni globalisasi, sebagai dampak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat. Kondisi itu mempengaruhi perilaku dan orientasi masyarakat Indonesia. Termasuk dalam berkarya cipta sastra. Meskipun menulis puisi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hidup, namun cukup banyak yang tertarik melakukannya. Puisi adalah persoalan pencapaian estetis, bukan ekonomis.
Dibanding genre-genre sastra Jawa lainnya, geguritan mempunyai kedudukan khusus dalam dunia estetis masyarakat Jawa. Hal utama yang menjadikannya demikian adalah sejarah perkembangannya yang begitu panjang. Proses perkembangan tersebut belum berhenti hingga saat ini. Hal itu tampak dari munculnya penyair-penyair puisi Jawa, yang dari tahun ke tahun mengisi lembar catatan sejarah sastra Jawa, hingga pada akhirnya memasuki periode perkembangan khusus: puisi Jawa modern. Pada era pascakemerdekaan, muncullah genre puisi baru, yang kemudian disebut sebagai puisi Jawa modern, yang membebaskan diri dari ikatan tradisi. Tentu saja geguritanlah yang mengawali kehadiran puisi Jawa modern tersebut.
Supartu, sang penulis, memberi judul kumpulan puisinya Krincing Pandhalungan. Judul utama ini diambil dari judul salah satu puisi yang berjudul sama, yakni Krincing Pandhalungan. Namun demikian, puisi yang satu ini seolah tidak dimaksudkan untuk memberi isyarat khusus apa sebenarnya yang hendak disampaikan oleh sang penulis. Memang, puisi tersebut menggambarkan “suasana Pendalungan,” tetapi terdapat banyak topik yang diungkap melalui puisi-puisi yang lainnya.
Krincing, semacam lonceng kecil berbahan logam, biasanya terdiri atas beberapa buah sehingga menimbulkan bunyi gemerincing. Bunyi ini sengaja diciptakan untuk kepentingan estetis. Pada kesenian Ludruk, misalnya, si penari Remo mengenakan krincing (disebut gongseng) di kaki kanannya, sehingga bila dihentakkan akan menimbulkan bunyi gemerincing yang unik. Sementara itu, Pendalungan merupakan wilayah kebudayaan khas di Jawa Timur, yang di dalamnya terdapat suku Jawa, Madura, Osing, dan sejumlah etnis lainnya.
Penggabungan kedua pengertian tersebut bisa bermacam-macam, antara lain: “sekumpulan suara kecil-nyaring dari ranah Pendalungan.” Suara di sini tentu saja bukan suara biasa, bukan sekedar hasil komunikasi sehari-hari, melainkan suatu pencapaian estetis. Di dalam dunia puisi, wujud estetis tersebut disebut dengan istilah “puitis.”

Dalam hal topik, antologi ini menunjukkan kematangan hidup sang penulis. Supartu dapat memandang sesuatu secara out of the box, alias dengan cara di luar kelaziman. Lihat saja, puisi Gandrung ditulisnya dalam bahasa Jawa, bukan bahasa Osing. Memang, dari segi kuantitas, jumlah yang hanya 27 puisi tidak cukup banyak. Namun kekayaan bahasa, dan secara lebih luas kekayaan budaya, yang terkandung dalam antologi ini sungguh luar biasa.
Bagaimana Supartu dapat menguasai keluasan wawasan kebudayaan seperti itu? Saya rasa pencapaiannya bersumber pada riwayat hidupnya yang memang lengkap. Dia berasal dari keluarga Jawa yang hidup di lingkungan masyarakat Using di Banyuwangi. Pada usia remaja, dia melanjutkan studinya di Jember, dan dia memilih tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya masyarakat Madura. Sementara itu pergaulan sosialnya di kampus melibatkannya berhubungan dengan para mahasiswa yang berlatar budaya Jawa, Madura, dan Osing. Riwayat inilah yang menjadi modal kultural penting dalam perjalanan berkeseniannya.
Tidak hanya mempelajari khasanah budaya Jawa, Madura, dan Osing, Supartu juga berusaha menyerap kekayaan kultural Pendalungan. Dia melihat, dan turut merasakan, bagaimana sebagian besar masyarakat pendalungan merasa kebingungan terhadap identitas budayanya. Hal ini diperlihatkannya dalam puisi Bumi Pandhalungan.
Duh kah….
Gak usah sambat cen ngunu
Mak taker ngunu?
Jek pancen ngunu
Bhe aku wong opo?
Sejumlah ungkapan perasaan orang Pendalungan hanya dimengerti oleh sesama warga Pendalungan. Kekhasan ungkapan tersebut masih terbatas pada kosakata, frasa, atau kalimat. Belum sampai pada tataran bahasa. Maka, sesungguhnya bahasa Pendalungan tidak ada. Pengertian “bahasa” di sini hanya sebatas “ungkapan-ungkapan” dalam berkomunikasi secara verbal. Itulah memang yang tampak di permukaan.
Puisi, di dalam semua sejarah perkembangannya, selalu melibatkan ciri bahasa yang dinamis. Pemakaian bahasa dalam puisi tampaknya berusaha mengikuti, dan selaras dengan, perkembangan waktu (periode). Oleh sebab itu setiap pengarang mempunyai cara yang khas dalam menuangkan idenya melalui bahasa yang dia gunakan.
Cara khas tersebut dapat dijadikan sebagai penanda jatidiri seorang pengarang. Pada kumpulan puisi Krincing Pandhalungan ini dinamika bahasa cukup terasa. Terlebih Supartu di sepanjang hidupnya tidak pernah tinggal di lingkungan masyarakat Jawa homogen. Masyarakat Banyuwangi dan Jember terdiri atas berbagai etnisitas sehingga dinamika perkembangan bahasa, secara kualitatif maupun kuantitatif, lebih tampak.
Karya Supartu ini tidak hanya menandai pencapaian secara pribadi sebagai seorang seniman, tetapi lebih dari itu, Krincing Pandhalungan juga menjadi bukti penting keberadaan “Sastra Pendalungan.” (Dr. Mochamad Ilham Zoebazary, M.Si., Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Jember)
Discussion about this post