UPAYA mempertahankan kemerdekaan ternyata bukan hanya didominasi kalangan militer, ulama, dan pemuda saja. Orang-orang dari golongan hitam seperti bromocorah, copet, begal, hingga pelacur, juga ikut tergerak mengisi garda depan perjuangan.
Ide menggalang para kriminil dan penjahat dalam pertempuran itu datang dari Mayor Jenderal dr. Moestopo. Pria kelahiran Ngadiluwih, Kediri membangun legiun yang beranggotakan orang-orang dengan stigma penjahat. Dengan pertimbangan, dari pada kaum bandit itu merepotkan rakyat yang tengah berjuang, lebih baik diajak perang.
Kisah Jenderal Moestopo sepintas mirip cerita dalam film Nagabonar. Tokoh yang diperankan aktor Deddy Mizwar itu memimpin kelompok pencopet yang bertempur melawan Belanda di Agresi Militer pertama.
“Para mantan penjahat yang dikoordinir Moestopo mampu membuat repot Belanda,” tulis Robert Cribb dalam bukunya berjudul Gangsters and Revolutionaries pada tahun 1991.
Pasukan binaan Moestopo itu bernama Terate, akronim dari Tentara Rahasia Tinggi. Anggotanya berjumlah lebih dari seribu serdadu. Mereka mengacaukan pergerakan tentara Sekutu di Jawa Barat pada 1946.
Eks kupu-kupu malam berperan layaknya agen intelegen yang menyusup ke jantung pertahanan musuh. Mereka menggali informasi tentang strategi perang. Sedangkan mantan maling bertugas mencuri senjata, pakaian, logistik, dan sabotase lainnya. Lewat skema tersebut, pasukan Terate berhasil mengusir pendudukan tentara Belanda di berbagai kota seperti Bandung, Kebumen, Subang, dan Karanganyar.
“Pelacur adalah mata‐mata terbaik di dunia,” kata Soekarno dalam buku autobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia pada tahun 1965.
Perkataan Soekarno itu barangkali terinspirasi dari gagasan Moestopo. Sebab, sesaat setelah terjadi pertempuran di Surabaya, dia ditempatkan di Istana Negara sebagai Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia.
Berdasarkan riset data yang dilakukan Kediripedia.com, Moestopo berhasil merepotkan Belanda juga berkat penerapan ilmu komunikasi. Pamflet bernuansa propaganda yang membakar semangat rakyat disebarkan. Konon, ketika berada di Kebumen dia sempat menyamar sebagai dukun. Anak buahnya lalu ditugaskan melempar desas desus bahwa dukun itu adalah jelmaan Diponegoro yang bangkit lagi. Dengan cara itu nyali Belanda ciut, sementara rakyat Indonesia semakin kompak.
Penguasaan berbagai taktik perang dengan ide yang aneh-aneh itu dipelajari Moestopo saat mengikuti pelatihan tentara Pembela Tanah Air atau PETA di Bogor. Ada enam orang lulusan terbaik, di antaranya Panglima Besar Sudirman, Letjen. Gatot Subroto, dan Moestopo.
Moestopo yang sebelumnya menempuh pendidikan dokter gigi ini bahkan memperoleh cum laude. Nilai tertinggi diberikan ketika dia menulis penelitian berjudul “Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Kotoran Kuda”. Bakteri clostridium tetani penyebab penyakit tetanus dalam kotoran kuda bisa menjadi senjata biologis mematikan. Dari temuan itulah kemudian di buku-buku sejarah muncul adagium bambu runcing mengalahkan senapan.
Meski kontribusinya besar, pasukan Terate akhirnya bubar. Peristiwa itu ditandai dengan Reorganisasi dan Rasionalisasi atau RERA militer Indonesia tahun 1947 hingga 1949. Program yang diinisiai Moh. Hatta mengatur perekrutan tentara profesional dengan spesifikasi tertentu. Misalnya memiliki postur tubuh ideal, kondisi fisik, serta wawasan luas, bukan sekadar modal nekat.
Pertimbangan lain dibubarkannya terate karena menjadi senjata makan tuan. Beberapa dari para residivis ternyata kembali ke kebiasaan lama. Mereka sering lupa tugas hingga kembali mencuri di rumah warga. Uniknya, salah seorang korban pencurian itu adalah Moestopo. Koper berisi baju dan sejumlah uang dicuri tentara mantan copet yang dipimpinnya.
Meski begitu, berkat ketelatenan Moestopo, sebagian besar mantan kriminil itu berhasil menyelesaikan pendidikan. Di antara meraka lalu bekerja di Departemen Kehakiman, Departemen Sosial, dan ada pula yang menjadi perwira TNI. Wanita tuna susila yang dibina banyak yang sadar bahkan menunaikan ibadah haji.
Usai Indonesia benar-benar lepas dari Belanda, dia aktif dalam bidang kesejahteraan masyarakat, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan. Keyakinan itu semakin menguat ketika pada tahun 1962, dia mendirikan Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama di Jakarta.
Atas jasa-jasanya bagi kepentingan bangsa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi Moestopo gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2007. Di tanah kelahirannya di Kediri, Moestopo dikenang lewat monumen patung di Taman Ngadiluwih.
Sedangkan kisah perjuangan Moestopo dan gerombolan tentara “hitam” akan selalu diingat meski hampir tak tercatat di buku sejarah. Namun, peristiwa itu membuktikan bahwa golongan bandit ikut berjasa dalam memperjuangkan kedaulatan republik. Cerita tersebut juga menguatkan jika rakyat Indonesia dari latar belakang apapun, sama-sama menginginkan kemerdekaan dan bisa berbakti untuk negeri. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post