SEBUAH kisah muncul dari Desa Dirah –ada yang menulis Jirah atau Girah– konon berada di Kediri, Jawa Timur. Hikayat ini terjadi sekitar tahun 1032 Masehi, tepat pada tahun ke-13 Raja Airlangga berkuasa di tlatah Kahuripan. Tersebutlah seorang janda bernama Calon Arang gencar menyebar teluh hingga menimbulkan wabah mematikan di seantero negeri. Teror itu buntut dari Calon Arang yang murka menyaksikan putrinya, Ratna Mangali, tak kunjung dilamar orang.
Sisa-sisa cerita Calon Arang disinyalir terletak di tengah ladang tebu di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Berwujud batu umpak atau penyangga tiang rumah, batu besar semi arca, dan batu balok kecil-kecil berbentuk silindris. Situs itu terlindungi pendapa berangka bambu yang dinaungi pohon preh dan jambu. Sesungguhnya, petilasan tersebut belum terbukti secara arkeologis. Hanya berbekal kepercayaan warga sekitar yang berlangsung turun-temurun, lokasi yang diduga bekas pertapaan Calon Arang tersebut tetap terjaga.
Meski lahir dari tanah Jawa, sampai kini cerita pemberontakan perempuan itu justru kian berkembang dalam tradisi geguritan di Bali. Muasal kisah Calon Arang tercantum pada kidung yang tertulis di atas 51 lembar daun lontar. Dituturkan dalam bahasa Kawi atau Jawa kuno, menggunakan aksara Bali bertarikh 1462 Saka (1540 Masehi). Hingga kini, manuskrip tersebut masih tersimpan apik di Perpustakaan Nasional.
Secara terang-terangan, naskah yang ditemukan oleh arsiparis Belanda, Jan Laurens Brandes, pada 1894 di Istana Cakranegara di Lombok ini mengutuk Calon Arang sebagai janda jahat tukang teluh. Kekacauan yang ia timbulkan akhirnya redam setelah Raja Airlangga menitahkan agar Empu Baradah turun tangan. Berhadapan dengan kesaktian dan kecerdikan pendeta Budha itu, Calon Arang kalah. Ia terbunuh namun dihidupkan kembali untuk diberi ajaran kebenaran agar mencapai moksa.
“Namun teks Calon Arang masih terbuka dan akan terus melahirkan tafsir-tafsir baru, misalnya, Calon Arang disebut sebagai simbol perlawanan kaum perempuan,” kata Seno Joko Suyono, pendiri dan kurator Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), pada Rabu, 10 Maret 2021.
Seno merujuk pada novel “Tjerita Tjalon Arang” (1957) karya Pramoedya Ananta Toer dan prosa liris “Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki” (2000) tulisan Toeti Herati. Kedua buku ini sama-sama memaknai Calon Arang jadi sosok yang mempertahankan hak, peran, dan kedudukan sebagai perempuan. Bedanya, Pram tetap menempatkan Calon Arang sebagai tokoh antagonis. Sementara Calon Arang di mata Toeti tercatat sebagai korban budaya patriarki.
Menurut Seno, penafsiran naskah Calon Arang oleh dua maestro tersebut tergolong sah. Apalagi masih relevan dengan perkembangan zaman. Calon Arang sesungguhnya seorang penganut sekte Tantrayana namun tergelincir mempelajari ilmu hitam. Meski begitu, ia tak ubahnya rakyat biasa penyandang status janda sekaligus seorang ibu yang menyayangi putrinya.
Maka ketika mendengar desus bahwa putrinya ialah perempuan tak laku, Calon Arang sontak murka. Kemarahan yang mendorongnya melakukan penculikan terhadap seorang perempuan untuk ditumbalkan kepada Durga. Melalui kekuatan Durga dan penguasaan ilmu hitam, Calon Arang menebar teluh ke mana-mana.
Terlepas dari jalan sesat yang ditempuh, kenekatan Calon Arang dalam mempertahankan kehormatannya tergolong bertaji. Sebagai perempuan yang hidup di tengah dominasi budaya patriarki, dia berani melawan.
“Sikap itu masih masuk akal menjadi pijakan bagi perempuan secara umum di masa sekarang,” kata Seno.
Munculnya berbagai kemungkinan tafsir baru mengenai Calon Arang membuat kisahnya hidup sampai sekarang. Khususnya di Bali, Calon Arang diadopsi ke dalam berbagai pementasan tari kreasi. Kelenturan masyarakat Bali terhadap seni tradisi, malah membuat imagi tokoh antagonis itu berubah sebagai lambang keberdayaan kaum perempuan. Ia tidak lagi menjadi korban ataupun dikorbankan, melainkan simbol kekuasaan perempuan. (Naim Ali)
Discussion about this post