NISAN setinggi 1,5 meter diangkat dari makam tua Kelurahan Burengan, Kota Kediri, Selasa, 24 September 2024. Berbahan batu andesit, badan nisan dihiasi ukiran khas era Hindu-Buddha. Pada batu kubur tokoh “Mbah Bureng” itu terdapat motif sulur, hiasan medalion, serta segitiga tumpal yang biasa ditemukan pada dinding candi.
Ekskavasi yang dilakukan Kelurahan Burengan bersama Tim Ekspedisi Wali Songo Jawa Timur itu mengungkap bahwa makam Mbah Bureng berasal dari abad ke-16. Sayangnya, para pegiat sejarah di Kediri mengecam aksi tersebut. Penggalian itu dinilai telah melanggar UU Cagar Budaya No. 11 tahun 2010. Dalam aturan ini, ekskavasi hanya boleh digelar oleh institusi seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan universitas yang memiliki bidang arkeologi.
“Di balik ekskavasi ilegal itu juga terdapat upaya penyelewengan sejarah,” kata Erwan Yudiono, Wakil Ketua Komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri (PASAK).
Pria yang akrab disapa Jeje itu mendeteksi adanya pembelokan sejarah saat Kelurahan Burengan menggelar Ngopi Budaya: Mencari Sejarah Burengan, Sabtu, 28 September 2024. Acara ini dihadiri Tim Ekspedisi Wali Songo sebagai narasumber, warga Burengan, serta sejumlah komunitas pelestari di Kediri.
Tim Ekspedisi Wali Songo yang diwakili Gus Ipul menyampaikan bahwa makam Mbah Bureng berasal dari abad ke-16. Mbah Bureng merupakan keturunan dari Sunan Giri. Gus Ipul menukil kitab Suluk Singonegoro yang ditulis Raja Giri ke IX. Di dalamnya tertulis tokoh bernama Singo Bureng II. Suluk yang menceritakan peperangan ini juga tertulis nama tokoh-tokoh besar yang pernah singgah di Kediri.
Keterangan tersebut menimbulkan perdebatan antara pemateri dengan peserta Ngopi Budaya. Para pegiat sejarah di Kediri meragukan keabsahan Suluk Singonegoro sebagai sumber sejarah.

Padahal, dalam serat Babad Kadiri, Mbah Bureng dikisahkan sebagai salah satu dari abdi kerajaan yang hidup pada 1136 masehi. Dia tercatat dengan nama Singo Bureng, bersama dengan abdi kerajaan lainnya seperti Wiranala, Tirtayuda, Tuwin Secareka, dan Tisna Pati.
“Mbah Bureng hidup di era kerajaan Panjalu, pada kepemimpinan raja Jayabaya,” kata Jeje.
Meski bukan sumber utama, Serat Babad Kediri masih bisa dipertimbangkan sebagai dasar sejarah. Hal yang menguatkan adalah adanya bukti tahun pada buku yang diproduksi penerbit Boekhandel Tan Khoen Swie itu. Sedangkan risalah dalam Suluk Singonegoro masih perlu diuji nilai historisnya.
Jeje menilai, pada kasus makam Mbah Bureng terdapat oknum yang berupaya menggabungkan nasab seseorang dengan garis keturunan kerajaan atau ulama. Tindakan ini bukan hanya merusak situs, tetapi juga menyesatkan publik dengan informasi yang tidak akurat. Atas kasus ini, pihak PASAK telah mengirimkan somasi pada Yayasan Nawa Nata Arya Sidoarjo dan Pejuang Wali Songo Jawa Timur.
Beberapa komunitas pelestari sejarah di Kediri menilai penyimpangan fakta sejarah itu dikhawatirkan akan berujung pada komersialisasi makam. Mbah Bureng ternyata bukan satu-satunya makam yang hendak “dibelokkan”. Beberapa pusara lain yang sudah dipugar lalu disematkan gelar ulama di antaranya makam sesepuh Desa Semen, Kras, dan sejumlah makam di Komplek Setono Gedong.

“Penggalian sejarah Burengan selanjutnya kami serahkan kepada Disbudparpora Kota Kediri,” kata Adi Sutrisno, Kepala Kelurahan Burengan.
Dia tergugah menggali sejarah Burengan karena belum ada tulisan mengenai sejarah kawasan tersebut. Dia berupaya membukukan agar generasi muda mengetahui sejarah kampungnya. Dokumentasi sejarah itu selanjutnya bisa menjadi kebanggaan warga Burengan.
Menurut Sigit Widiatmoko, Dosen Sejarah Universitas Nusantara PGRI Kediri, menggali sejarah sebuah kawasan sebaiknya melalui beberapa tahapan. Izin dari pemerintah daerah harus diperoleh sebelum membentuk tim penelitian, dilanjutkan dengan melakukan riset historiografi, kemudian baru melakukan ekskavasi.
“Penggalian sejarah di sebuah kawasan seharusnya dilakukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya,” kata Sigit.
Dia menambahkan, untuk menghindari kasus serupa di masa depan, pemerintah perlu membentuk tim kajian khusus yang berfokus pada penelitian dan dokumentasi sejarah desa. Khususnya di kawasan yang memiliki situs-situs bersejarah seperti makam kuno.
Menurutnya, pengungkapan sejarah desa tidak boleh dilakukan asal-asalan. Peristiwa Burengan itu bisa menjadi pengingat bagi masyarakat dan pemerintah desa. Sekecil apapun kisahnya, sejarah perlu dikaji secara ilmiah dan melibatkan ahli yang kompeten. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post