TUBUH lelaki itu basah kuyup, ujung jarinya keriput, dan sklera matanya kemerahan. Ketika sedang beristirahat di tepi Sungai Brantas, Slamet sesekali memiringkan kepala untuk mengeluarkan air dari lubang telinganya. Beberapa tahun belakangan, sensitivitas indera pendengaran penambang pasir tradisional itu sudah menurun.
Saban hari, Slamet menggali pasir di Sungai Brantas di kawasan Kota Kediri. Di batang air yang berjarak 300 meter sebelah utara Jembatan Lama itu, dia mengambil pasir pada kedalaman 3 hingga 7 meter. Dia tak menggunakan peralatan menyelam seperti kacamata, tabung oksigen, maupun penutup kuping.
“Telinga saya sering kemasukan air, pendengaran jadi tidak normal,” kata Slamet, Kamis, 8 Agustus 2024.
Menurutnya, air yang masuk ke telinga menghambat segala suara yang didengar. Bahkan saat cairan sudah dikeluarkan semua, pendengarannya tidak bisa kembali normal. Kini, siapapun yang bercakap-cakap dengannya harus bersuara lantang.
Menambang pasir sejak 1998, pria 51 tahun itu tidak mengetahui awal mula mengalami gangguan pendengaran. Dia juga sudah tidak ingat kapan pertama kali telinganya berdengung selepas bekerja. Kuping kemasukan air baginya adalah hal wajar.
Gangguan kesehatan yang dialami pria asal Jombang itu bukan hanya pendengaran. Risiko lain yang diterima di antaranya infeksi mata, mimisan, dan kram otot. Namun, masuknya air ke lubang telinga menjadi efek yang paling sering melanda para penambang. Meski air bisa segera dihilangkan, tapi cairan terus keluar dari telinga.
“Ketika mengeluarkan cairan, saya baru berhenti menambang hingga beberapa hari ke depan,” kata Slamet.
Dia menambahkan, keluarnya cairan dibarengi sakit kepala serta melemahnya daya tahan tubuh. Sejauh ini, Slamet belum pernah melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis. Dia hanya berupaya meredakan nyeri dengan obat dan suntik antibiotik di bidan terdekat.
Slamet bukan satu-satunya penambang pasir tradisional di sepanjang Sungai Brantas kawasan Kota Kediri. Puluhan penambang pasir kebanyakan berasal dari Jombang dan Mojokerto. Selama bekerja di Kediri, mereka disediakan tempat tinggal sementara oleh para bos pasir yang rata-rata adalah pemilik perahu.
“Orang dari luar Kediri lebih berani mengambil risiko sebagai penambang,” kata Anton Catur Wibisono, salah seorang pekerja tambang pasir di Kelurahan Semampir, Kota Kediri.
Menurutnya, para penambang dari luar daerah itu tak terlalu memperhitungkan risiko yang akan dihadapi. Sebab, mayoritas dari mereka memang sudah mengalami gangguan pendengaran sejak lama. Dari kawasan Jombang dan Mojokerto, mereka beralih menuju Kediri karena tambang pasir di daerahnya sudah tidak diperbolehkan beroperasi.
Di sepanjang aliran Brantas Kota Kediri mulai dari utara Jembatan Alun-alun hingga Jembatan Jongbiru setidaknya kini terdapat 15 titik tambang yang beroperasi. Setiap titik ada 3 hingga 4 orang penggali pasir. Tiap hari, aktivitas penambangan itu sedikitnya dilakukan dua kali. Jika permintaan pasir bertambah, mereka akan beraksi hingga malam hari.
“Semakin sering air masuk akan menimbulkan infeksi bakteri dan jamur yang menyumbat frekuensi pendengaran,” kata Elida Mustikaningtyas, Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher (THT-KL).
Dokter yang membuka praktik di Klinik Salsabila Kediri ini menjelaskan, munculnya infeksi itu akibat perubahan kondisi telinga yang mulanya bersifat asam menjadi basa karena kemasukan air. Infeksi itu akan menjadi luka dan mengeluarkan cairan nanah dari ruang dalam kuping. Jika tidak dilakukan penanganan, bakteri dan jamur akan tumbuh lalu menghambat pendengaran.
Elida menambahkan, perbedaan tekanan udara ketika menyelam juga berpotensi merusak gendang telinga. Jika hal ini terjadi, satu-satunya cara untuk menyembuhkan harus melalui proses operasi. Dengan resiko tersebut, para penambang seharusnya rutin melakukan medical check-up setidaknya setahun sekali.
Selama ini, para penambang pasir itu tidak pernah melakukan pengobatan secara serius. Gangguan pendengaran sudah dirasakan bertahun-tahun, diabaikan. Mereka hanya mengandalkan obat antibiotik. Segala risiko kesehatan tentu saja tidak ditanggung oleh perusahaan, sebab tambang pasir tradisional yang berada di Sungai Brantas itu ilegal. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post