PERUPA senior Yogyakarta, Godod Sutejo, 71, menggelar pameran tunggal bertajuk “Manjing” di Kiniko Art Management, kompleks Sarang Building, Kalipakis, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 14-31 Agustus 2024. Ini adalah pameran tunggalnya yang ke-18. Sebanyak 33 lukisan dipajang pada pameran tersebut. Terselip karya lama namun lebih didominasi karya baru yang getol dilukis beberapa bulan sebelum acara.
Manjing, dalam bahasa Jawa berarti “melebur atau mencair”. Tema itu dipilih untuk menggambarkan seperti apa karya dan jalan berkesenian seorang Godod Sutejo.
Kurator pameran, Yaksa Agus dalam esainya menggambarkan betapa cair dan lihainya seorang Godod Sutejo membagi waktu antara berkarya, mengurusi, dan membuat berbagai pameran seni. Di sela kesibukan melukis, dia masih berkesempatan melayani tamu dan sahabatnya yang hingga kini masih sering bertandang ke rumahnya. Semua terjadi natural. Berjalan bersinergi tanpa harus ada yang dikorbankan.
“Kiprahnya dalam seni rupa menjadikan Godod lebih pas jika disebut sebagai Bapak Manajemen Seni Yogyakarta. Di saat orang belum tertarik menekuni bidang ini, Godod lebih dulu terjun di bidang ini sejak masih muda,” tulis Yaksa dalam esainya.
Pada masa lalu, Godod aktif dan menjadi ketua pelukis di pasar seni Ancol Jakarta, pada masa awal dibukanya. Dia juga tercatat beberapa kali mendirikan organisasi seni rupa, salah satunya Koperasi SEKATA (Seniman Yogyakarta).
Godod dan sahabatnya, Mahyar Suryaman juga adalah sosok di balik gebyar Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Pasar seni yang legendaris itu masih sering diperbincangkan sebagai kenang-kenangan dan pengalaman yang menempa banyak seniman.
Dia juga turut menginisiasi Jambore Seni di Ancol dan Beber Seni. Ajang tersebut mirip Art fair atau art garden yang tengah tren saat ini. Bahkan menurut Yaksa, strategi dan pola Bursa Seni ala Godod, hingga hari ini kerap ditiru banyak pihak sebagai upaya mencari peluang pasar seni alternatif.
Secara pengkaryaan, Godod Sutejo dikenal luas sebagai “pelukis alam sepi”. Itu adalah julukan yang disematkan kurator dan kritikus seni Tanah Air, Agus Dermawan T, pada pameran tunggal Godod, era 1990-an.
Yaksa mengatakan, dalam setiap karyanya, Godod leluasa menghadirkan alam semesta dan kesejukan, kesunyian dan nglangut. Lukisannya seolah ingin menceritakan jagad raya tak terbatas. Di setiap lukisan itu, tampak arak-arakan manusia, mungil, dan mengabur. Dari kejauhan, terlihat seperti menggelar upacara tradisi, maupun kegiatan keseharian.
“Budaya arak-arakan yang dihadirkan Godod, justru hadir bersama kesunyian dirinya,” tulis Yaksa.
Dalam arak-arakan itu tersimpan realitas sosial. Budaya Jawa yang dulunya erat dengan dunia metafisika, kini nyaris tidak dianggap menarik bagi para pelaku budaya. Khususnya di dunia seni rupa.
Kurator dan kritikus seni, Agus Dermawan T turut menulis ulasan dalam pameran ini. Dia mengatakan bahwa cara Godod melukis, merujuk kepada filsafat Jawa : Sing ono iku ora ono. Artinya, yang ada itu sebenarnya tidak ada. Sementara yang tidak ada sesungguhnya ada.
Dalam konteks kehidupan manusia, ora ono atau “tidak ada” itu diibaratkan sebagai nol; keadaan ketika seseorang bebas dari segala pemikiran dan keinginan yang mengikat. Sehingga yang diperoleh adalah kejernihan dalam segala peri kehidupan. Dan yang ada dalam diri adalah hakikat, yang merupakan sejatinya ono atau “ada”.
“Itu sebabnya tak ada satu pun sosok dan raut muka manusia dalam lukisannya. Dalam konteks spiritualitas, ora ono selalu dikaitkan dengan konsep kasunyatan (sunyata). Konsep yang mengajarkan bahwa semua fenomena dalam dunia bersifat sementara, atau tidak memiliki subtansi yang tetap,” tulis Agus Dermawan T.
Dia mencontohkan lukisan Godod berjudul “Lari Pagi”, menggambarkan kerumunan orang banyak berlari di tengah alam raya.
“Alam itu mengabur, sehingga kita tidak tahu apakah tebaran manusia itu berada di sebuah kota, di padang raya atau di sehampar desa. Yang ada hanyalah batas langit dan bumi yang gamang lantaran diserbu sejuta cahaya,” tulisnya.
Dalam amatan Agus, lukisan-lukisan Godod adalah perlambang dari falsafah ono dan ora ono. Segala benda yang dia gambar, melebur halus dalam kabut. Manusia, hewan, pohon, bangunan, dan sebagainya larut dalam udara. Menjadi benda mikrokosmos dalam bentangan makrokosmos.
Subroto, seniman, alumnus dan mantan pengajar FSR ISI Yogyakarta, yang membuka pameran ini, dalam pengantar yang dituliskannya menyebut, lukisan-lukisan Godod akan membawa penikmatnya berefleksi, merenung, atau berkontemplasi. Betapa kecilnya manusia, makhluk tertinggi ini dihadapkan dengan alam raya yang demikian luas. Sehingga tampak kecil sebagai debu.
Gaya lukisan yang demikian unik tersebut, menurut Subroto berawal dari kegelisahan seorang Godod Sutejo untuk menemukan jati diri dalam lukisannya. Berawal dari tuntutan kurikulum di Jurusan Seni Lukis ASRI, sekolah yang menempanya.
Suatu ketika Godod pergi menyepi ke Pantai Samas. Dari kejauhan ia melihat kerumunan dan gerak-gerik orang yang tampak kecil sekali.
“Seketika pemandangan ini telah menggugah kesadaran estetisnya untuk melukiskannya di kanvas. Sejak peristiwa tersebut, lebih kurang di tahun 1974, Godod merasa mantap dengan pilihan gayanya yang ia pegang dengan teguh hingga sekarang,” tulis Subroto.
“Mengamati lukisan-lukisan Godod yang menyajikan manusia-manusia berukuran sangat kecil di tengah alam raya yang luas, sepi, dan nglangut itu menjadikan manusia bagaikan debu, kecil dan seolah tak berarti,” lanjutnya.
Sayang, pada pembukaan pameran, Rabu 14 Agustus 2024, Godod Sutejo tidak dapat hadir. Beberapa hari sebelum pembukaan pameran, dia jatuh sakit dan sempat dirawat di rumah sakit.
“Pameran ini adalah bentuk dedikasi pak Godod Sutejo terhadap dunia seni rupa, cepat piluh pak Godod,” kata Jefri Caniago, direktur Kiniko Art Management.
Pameran ini terlaksana, atas inisiatif Wahyudi. Di kalangan seniman, Yudi, begitu dia biasa disapa, adalah satu dari sekian anak didik tempaan Godod Sutejo di “Sambung Frame”. Itu adalah tempat membuat spanram dan pigura bagi kebanyakan seniman di era 90-2000an. “Sambung Frame” adalah satu unit usaha milik Godod Sutejo. Di sana, Yudi memulai karirnya dari bawah, mulai dari mengampelas kayu hingga packing karya.
“Pak Godod sangat disiplin dan keras mengajari kami, bagaimana memperlakukan karya seni dengan baik, beliau adalah guru yang baik,” kata Yudi.
Seiring waktu, usaha “Sambung Frame” pernah meredup. Yudi kelak menggantikan posisi itu di bawah bendera “Yudi Pigura”. Kini dia menjadi salah satu tempat jujugan para seniman dan kolektor. Tak hanya membuat spanram dan pigura, Yudi juga melayani pengiriman karya seni, dalam dan luar negeri.
Yudi berinisiatif membuat pameran tunggal untuk Godod Sutejo, sebagai bentuk penghormatan kepada sang guru. Inisiatif itu kemudian disampaikan Yudi kepada beberapa rekan perupa, yang lantas bahu-membahu ikut membantu hingga pameran ini terlaksana. (Syam Terajana)
Discussion about this post