DEBIT air Sungai Brantas menyusut sepanjang musim kemarau. Arus sungai yang tak terlalu deras membuat para penambang pasir tradisional kembali marak di Kota Kediri, Jawa Timur. Pada kawasan Brantas mulai dari sebelah utara Jembatan Alun-alun hingga Jembatan Jongbiru, sedikitnya terdapat 15 titik tambang pasir yang kini beroperasi.
Saban hari, belasan perahu penambang pasir tertambat pada tiang pancang bambu yang ditancapkan di tengah sungai. Tanpa tabung oksigen maupun kacamata renang, mereka menyelam ke dasar Sungai Brantas, menyelinap ke batang air pada kedalaman 7 meter. Sekitar 1 menit, mereka kembali ke permukaan sambil memanggul wadah berisi pasir. Aktivitas ini diulang-ulang hingga perahu dipenuhi pasir. Mereka biasanya disebut penambang pasir tradisional.
“Kita baru mulai lagi sejak 2 minggu lalu, sebelumnya sempat berhenti karena ada penertiban,” kata SU, salah seorang penambang pasir, Jumat, 26 Juli 2024.
Dia sebenarnya menyadari bahwa aktivitas menambang pasir sungai adalah tindakan ilegal. Tak terhitung berapa kali para penambang pasir itu disatroni Satpol PP. Bahkan hukuman ringan seperti penyitaan alat kerja juga kerap terjadi. Beberapa bulan lalu, mereka diminta tidak lagi menggali pasir karena lokasi tambang berdekatan dengan proyek jembatan jalan tol Kediri.
Namun, aksi tersebut masih dilakukan tersebab permintaan pasir terus berdatangan. Kualitas pasir Sungai Brantas dinilai lebih bagus sebagai bahan bangunan daripada pasir Gunung Kelud.
Sejumlah lokasi tambang itu bebas beroperasi meskipun letaknya berdekatan dengan kantor-kantor pemerintahan. Misalnya tambang pasir di kawasan Semampir yang hanya berjarak puluhan meter dari Kelurahan Semampir, Badan Pertanahan Nasional (BPN), DKLH Kota Kediri, dan DPRD Kota Kediri. Bahkan salah satu pintu masuk ke tambang pasir berada di area masjid yang terletak di sebelah utara kantor DPRD.
Pada satu titik tambang terdapat sekitar 3-4 kelompok yang terdiri dari 3 orang penyelam. Berbekal perahu, keranjang anyaman bambu, cangkul, dan sekop, tiap hari mereka mampu menjual pasir sebanyak 10 bak truk. Setiap truk dipatok harga 400 ribu rupiah.
“Ini urusannya perut, segala upaya kami lakukan. Agar tak ketahuan, kami mengambil pasir pada malam hari,” kata SU.
Menurutnya, aktivitas pertambangan pasir ini hanya menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Para penambang mayoritas berusia di atas 40 tahun, sehingga mereka kebingungan jika tambang pasir dihentikan.
Larangan penambangan pasir Sungai Brantas diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Usaha Pertambangan Pada Wilayah Sungai Di Propinsi Jawa Timur. Dalam aturan itu menyebut bahwa tambang pasir menggunakan mesin mekanis maupun tradisional, semuanya dilarang.
Selain itu, larangan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aktivitas tambang pasir yang masuk pada jenis Galian C baru dibolehkan jika mendapat izin dari pemerintah setempat.
“Peringatan skala besar terakhir kami lakukan 3 bulan lalu,” kata Agus Dwi Ratmoko, Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satpol PP Kota Kediri.
Saat itu, Satpol PP melakukan sosialisasi dengan Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (DLHKP) untuk menghimbau para penambang menghentikan aksinya. Alat kerja berupa cangkul, sekop, dan keranjang anyaman disita sebagai bentuk peringatan agar tidak lagi melakukan penambangan. Selain itu para penambang diminta beralih pekerjaan sebelum jembatan jalan tol Kediri mulai dibangun.
Menurut Agus, jika melihat dasar Perda Praktikum, yang berwenang melakukan tindakan pidana adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas. Biasanya mereka bekerja sama dengan Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) sebagai pelaksana penegaknya. Ketika kediripedia hendak mengkonfirmasi hal ini, Kasat Reskrim Kota Kediri, Iptu M Fatur Rozikin belum bisa dihubungi.
Sampai saat ini penambangan Galian C Sungai Brantas masih berjalan. Setiap hari, ratusan truk pengangkut pasir hilir mudik di kawasan Sungai Brantas Kota Kediri.
“Menggali pasir sungai jika dilakukan secara terus menerus bisa mengancam konstruksi pondasi jembatan,” kata Endang Pratiwi, pegiat lingkungan Yayasan Hijau Daun.
Menurutnya, tambangan pasir tradisional di Kota Kediri ini cukup dilematis. Kalau dihentikan total, maka meningkatkan angka pengangguran. Namun jika diteruskan, akan menyebabkan erosi tanah, mengubah bentuk sungai, hingga mematikan ekosistem ikan endemik Sungai Brantas.
Dampak jangka panjang lainnya yaitu terjadi longsoran pada bangunan-bangunan di sekitarnya. Misalnya, rumah-rumah di tepian sungai maupun jembatan seperti di kawasan Semampir, Alun-alun, dan Jong Biru. Sebab, jarak rata-rata antara pondasi jembatan dan area penambangan terpaut 500 meter.
Endang menambahkan, pemerintah daerah perlu merumuskan aturan terkait batas-batas tambang pasir tradisional. Misalnya, menentukan kawasan, besaran volume pengambilan pasir, beserta jangka waktunya. Atau jika penambang pasir diminta berhenti total, maka pemerintah harus menjamin tersedianya lapangan pekerjaan. Jika sekadar ditertibkan tanpa win solution, maka aktivitas tambang pasir akan terus berlanjut sehingga berdampak pada keberlangsungan lingkungan. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post