PADA Sabtu, 3 Februari 2001, kawasan Pantai Utara (Pantura) di Kabupaten Situbondo terasa mencekam. Ratusan pohon asam sepanjang 50 kilometer di jalur pantura dirobohkan beramai-ramai. Kemarahan warga dipicu oleh keputusan pelengseran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari kursi Presiden Indonesia.
Ribuan masyarakat melakukan aksi penebangan pohon itu di Kecamatan Besuki, Pasir Putih, Asembagus, dan Situbondo. Mereka bahkan memblokade jalan pantura dengan batang-batang pohon asam raksasa berusia ratusan tahun. Alhasil, lalu lintas dari Surabaya menuju Banyuwangi lumpuh total lebih dari 24 jam. Tiga hari berselang, demonstrasi warga belum mereda. Senin, 5 Februari 2001, mereka kembali menebangi puluhan pohon asam hingga tak tersisa.
Pohon bernama latin tamarindus indica yang ditumpas habis itu merupakan tanaman dari masa kolonial Belanda. Karel Heyne, dalam bukunya “De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie” 1916, menyebut pohon asam dengan fraaie atau sesuatu yang indah. Daunnya tumbuh lebat tapi ukurannya kecil, batang pohonnya juga kokoh.
“Pohon asam itu sengaja ditanam Belanda sebagai peneduh jalan,” kata Nara Setya Wiratama, Dosen Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri, Rabu, 23 Oktober 2024.
Dalam catatan sejarah, pohon asam bukan tumbuhan asli Pulau Jawa. Tanaman ini berasal dari Afrika yang dikenal dengan nama tamarindus atau tamarind. Persebarannya dimulai dari India kemudian masuk ke Asia Tenggara. Di Indonesia, orang-orang populer menyebutnya dengan Asam Jawa.
Menurut Nara, pohon ini ditanam secara besar-besaran ketika Belanda tengah gencar mendatangkan kendaraan bermesin dan membangun jalan raya. Sehingga, pohon ini dulunya identik dengan Jalan Raya Deandles atau yang kini disebut Pantura. Jalur yang membentang dari Anyer hingga Panarukan ini dibangun pada pemerintahan Gubernur Jendral Herman Williem Deandles.
Alasan lain Belanda marak menanam pohon asam yaitu untuk diambil buahnya. Pohon asam merupakan tanaman yang masa hidupnya panjang, bisa berbuah hingga usia 200 tahun. Asam dianggap sebagai rempah-rempah yang bernilai ekonomi. Dalam bukunya, Karel Hayney juga menjelaskan bahwa buah asam diekspor dari Bali menuju Singapura. Selanjutnya, sebesar 344 ton dikirim dari Madura menuju Sulawesi.
Selain di jalur Pantura, pohon asam dulunya juga ditanam di berbagai kawasan industri Belanda di Indonesia. Di Kediri, tumbuhan ini masih bisa dijumpai di dekat pabrik gula seperti PG Pesantren, Ngadirejo, dan Mrican.
Jejeran pohon asam juga dapat ditemui di perlintasan depan PG Mojopanggung, Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Di jalur yang penghubung wilayah Blitar-Tulungagung itu, puluhan pohon asam menghiasi bahu jalan sepanjang 10 kilometer.
“Jika terdapat pohon asam besar di pinggir jalan, bisa dipastikan jalur itu sudah eksis sejak jaman Belanda,” ungkap Nara.
Dia menambahkan, pohon ini juga ditanam di sepanjang rel kereta, kawasan pabrik gula, maupun di jalan yang terdapat banyak tikungan. Sayangnya, seiring waktu pohon asam peninggalan Belanda itu kini berkurang.
“Dulu di pinggir jalan raya masih banyak, sekarang hanya tersisa di sekitar Pabrik Gula Mrican saja,” kata Martidjah, warga RT 01, RW 07, Kelurahan Mrican, Kediri.
Menurut perempuan 60 tahun itu, berkurangnya pohon asam tersebut disebabkan karena banyak yang roboh diterjang angin di musim hujan. Padahal, warga seringkali memanfaatkan daun, dan buahnya untuk jamu, serta penyedap makanan.
Pohon asam di kawasan PG Mrican kini hanya tersisa 12 pohon. Sedangkan di jalan protokol Kota Kediri, pohon asam sudah tak tampak.
Menghilangnya pohon asam dari jalanan bukan terjadi di Pantura dan Kediri, tapi hampir terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Pohon-pohon asam besar berusia ratusan tahun terpaksa ditebang, seiring dengan maraknya proyek pelebaran jalan. Fungsinya sebagai peneduh dan hiasan jalan kini digantikan pohon akasia, bintaro, ketapang, dan tabebuya. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post