LAMBANG bergambar Bintang Daud, menempel di dinding fasad sebuah rumah tua di Dusun Galuhan, Desa Kandat, Kabupaten Kediri. Relief itu kerap dikaitkan dengan keberadaan kelompok Freemason atau Illuminati. Warga yang tinggal di kawasan perkebunan tebu itu biasa mengenal bangunan kuno tersebut dengan sebutan Omah Londo atau rumah Belanda.
“Dari keterangan para sesepuh desa, bangunan ini didirikan pada tahun 1920,” kata Budi Iswanto, Minggu 19 Juli 2020.
Penghuni rumah bercorak arsitektur Eropa ini menuturkan, bangunan tersebut merupakan peninggalan dari Mbah Tugi. Di masa kolonial, Mbah Tugi dipinang pria Belanda yang bekerja sebagai Insinyur Pabrik Gula Ngadirejo. Pernikahan antara penduduk pribumi dan orang Belanda itu terpaksa berakhir ketika Indonesia merdeka. Di masa peralihan kekuasaan, Sang Meneer memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Negeri Kincir Angin.
Menurut Budi, perginya Ambtenaar pabrik gula itu meninggalkan ratusan hektar tanah, termasuk rumah dengan logo Freemason. Tersebab pernikahan dengan orang Belanda belum dikaruniai anak, bangunan lalu diwariskan ke adik Mbah Tugi yaitu Mbah Mutinem. Usai Mbah Mutinem tutup usia, rumah tersebut diserahkan ke cucunya yang bernama Tamsuri.
“Saya lupa nama pria Belanda itu. Tapi kalau dicek di dokumen lama Pabrik Gula Ngadirejo, pastinya ada,” ujar pria berusia 49 tahun itu.
Kini, bangunan berusia seratus tahun tersebut ditempati Budi beserta istri dan kedua anaknya. Budi, yang juga salah satu cucu Mbah Mutinem dipercaya Tamsuri merawat rumah bersejarah itu. Sedangkan Tamsuri sebagai pemilik sah bangunan sekarang menetap di Kalimantan.
Rumah kuno peninggalan kolonial yang kini dirawat Budi, tidak sepenuhnya menyerupai hunian di Belanda. Rumah-rumah di era penjajahan dirancang dengan arsitektur yang menyesuaikan iklim tropis. Konstruksinya tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan langgam permukiman tradisional Indonesia. Misalnya, dinding bangunan menggunakan susunan dua pasang batu bata dengan ketebalan 25 cm.
Rancang bangunnya mengusung aliran kubisme dengan menyederhanakan ruangan menjadi berkotak-kotak. Misalnya, ruang tamu serta kamar tidur di bagian tengah, terletak di sisi kiri dan kanan. Sedangkan ruangan yang diapit kamar difungsikan untuk ruang keluarga atau perjamuan makan malam. Pada bagian samping rumah, ada ruangan terbuka yang digunakan untuk tempat bersantai.
“Meski sudah berusia 100 tahun, bangunan ini masih terjaga keasliannya,”kata Dendik Ruliyanto, salah seorang pegawai Kecamatan Kandat.
Dendik menilai, rumah yang kini ditempati Budi tersebut sangat layak dilestarikan. Keberadaan bangunan sisa kolonial itu dapat memperkaya khazanah arsitektur Indonesia. Sehingga, bisa dipelajari tentang bagaimana merancang konstruksi rumah-rumah tropis.
Tentang keberadaan simbol menyerupai Freemason, Budi mengaku tidak mengetahui secara pasti. Menurut mantan pegawai perkebunan Glenmore Banyuwangi tersebut, logo itu sudah terpampang di dinding sayap kanan bangunan rumah sejak berdiri seratus tahun lalu. Hal-hal terkait keterlibatan pejabat Belanda dalam gerakan Freemason di Indonesia, itu membutuhkan penelusuran lebih mendalam.
Jika ditinjau dari faktor sejarah, organisasi Freemason atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselaarij dulunya memang merupakan perkumpulan yang cukup populer di Nusantara. Berdiri di Inggris pada tahun 1717, organisasi kebatinan atau theosofi ini menyebar ke daratan Eropa kemudian sampai di Indonesia.
Masuknya Freemason ke tanah air tentu tidak bisa dilepaskan dari era kolonial. Ajaran itu dikembangkan Joan Cornelis Mattheus Radermacher, Suhu Agung Freemason di Belanda. Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda karya Dr Th Steven, menyebutkan bahwa Freemason tersebar di berbagai wilayah Nusantara sejak tahun 1762 sampai 1962.
Radermacher mendirikan loji Freemason pertama bernama La Choisie di Batavia atau Jakarta. Pada tahun 1922, Freemason semakin berkembang dengan membuka 22 rumah perkumpulan. Empat belas di Pulau Jawa, tiga di Sumatra, dan sisanya di Makassar.
Menariknya, dari 22 loji Freemason tersebut salah satunya berada di kawasan Kediri dengan sebutan De Dageraad Kediri. Apakah rumah ini yang dimaksud De Dageraad Kediri, tentu membutuhkan kajian literatur yang komprehensif.
Masuknya Jepang pada tahun 1943, menjadi petaka bagi organisasi Freemason di Indonesia. Jepang, pada saat Perang Dunia kedua bergabung dalam blok Jerman, kemudian menghapus semua hal bernuansa Belanda. Termasuk Freemason, yang dianggap merupakan organisasi di bawah naungan Belanda.
Keberadaan mereka semakin tersudut setelah Indonesia merdeka. Pada 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 264/1962 tentang larangan keberadaan organisasi Freemason. Bangunan para kelompok Freemason lalu banyak yang beralih fungsi menjadi rumah biasa, hotel, dan gedung perkantoran. Misalnya, kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau BAPPENAS di Jakarta, The Shalimar Boutique Hotel di Malang, dan Kantor Dinas Pariwisata di Kota Medan. (Kholisul Fatikhin)