BEBERAPA tahun terakhir, areal tanaman kopi rakyat di lereng Gunung Kelud, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, kian tergerus oleh tanaman kakao, cabai, nanas, tebu, atau hortikultura lain. Para petani menganggap komoditas kopi tidak lagi menguntungkan, terutama karena rendahnya harga jual di pasaran.
Perlahan tapi pasti, kini persoalan itu dijawab masyarakat Dusun Laharpang, Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Berbekal solidaritas, mereka gotong royong membangun sistem pengolahan secara mandiri. Mulai dari proses menanam sampai menjadi produk kopi siap konsumsi.
“Dengan begitu, kita bisa mengendalikan harga dan tidak terpengaruh dengan rute jual beli di tengkulak,” kata Nuryakin, petani kopi Laharpang di perkebunan kopi di desanya, pada Selasa, 14 Juli 2020. Lelaki 34 tahun ini menerangkan, upaya yang dilakukan warga Laharpang ibarat membuat produk saus, yang nilai jualnya tetap stabil meski harga tomat di pasaran sering labil.
Bagi Nuryakin, kopi masih menjadi salah satu benteng terkuat ketahanan ekonomi masyarakat pinggiran Kelud. Tanaman asli benua Afrika ini telah tumbuh di kawasan timur Kediri selama hampir satu setengah abad. Semula ditanam kolonial Belanda, kemudian mulai kelola penuh oleh negara setelah Indonesia merdeka. Budidaya biji yang kaya kalium dan kafein tersebut turut didikembangkan penduduk setempat, termasuk para petani di Laharpang.
Lambat laun, langkah petani kopi varietas robusta dan liberika ini memasuki jalan terjal. Selain karena bergantung pada tengkulak, produktivitas tanaman sering terhambat akibat ketidakpastian siklus hujan. Ujian yang terus menggilas, terjadi hingga masa erupsi Kelud pada 2014. Potensi kopi dilirik kembali, untuk memulihkan ekonomi warga terdampak letusan gunung setinggi 1.731 meter di atas permukaan laut itu.
Warga Laharpang menyadari, dalam berikhtiar menggairahkan kembali komoditas kopi membutuhkan dukungan berbagai kalangan. Pada pelaksanaanya, mereka bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al Azhar. Di antaranya, membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) Lamor Kelud Sejahtera. Sejumlah usaha perniagaan mandiri seperti kedai, peternakan, dan pertanian, lahir dari kelompok tani ini.
“Di antara semua usaha kelompok tani ini, yang menunjukkan kemajuan signifikan adalah pengolahan kopi,” kata Aynut Dhobit, pendamping LAZ Al Azhar.
Ia melanjutkan, aktivitas pengolahan kopi telah berlangsung sejak 2017 di Saung Ilmu. Sebuah ruang kegiatan masyarakat yang didirikan LAZ Al Azhar. Di pusat kegiatan warga itu pula, KSM Lamor Kelud Sejahtera menggunakannya sebagai tempat penampungan kopi.
Buah yang bernama asli qahwah ini dibeli dari perkebunan milik petani Laharpang dengan nilai di atas harga pasar. Utamanya, buah yang dipanen dengan teknik pemetikan selektif. Yaitu, hanya memetik buah yang berwarna merah penuh atau matang sempurna saja. Karena bila dipetik serentak atau racutan, akan menghasilkan rasa kopi yang berbeda.
Kini, sedikitnya terdapat lima varian kopi bubuk hasil olahan KSM Lamor Kelud Sejahtera. Produk bermerek “Laharpang” ini terdiri dari jenis robusta dan liberika, termasuk kopi luwak. Semua dijual dalam bentuk kemasan seberat 250 gram, dengan bandrol di kisaran 10 – 75 ribu Rupiah. Setiap tahun, rata-rata 2 ton kopi Laharpang berhasil beredar di pasaran. Bahkan pada 2019, total permintaan konsumen tercatat mencapai angka 2,9 ton bubuk kopi.
Keuntungan yang terus mengalir ialah hasil berpayah-payah membangun jalur distribusi dari hulu sampai hilir. Menurut Nuryakin, keputusan petani Laharpang membuat produk kopi sendiri, terbukti mampu menjaga keseimbangan di semua lini. Namun selama ini, masih separuh hasil panen dari total 150 hektar areal tanaman kopi di Laharpang yang mampu mereka tampung. Meski itu bagian dari tantangan, tapi bukanlah hal yang mustahil diwujudkan.
“Kita hanya ingin mengembalikan lagi kejayaan kopi di Laharpang,” kata Nuryakin. (Naim Ali)