SELAMA masa pandemi Covid-19, seluruh aktivitas di ruang publik terpaksa dihentikan, tak terkecuali di sektor pendidikan. Gedung-gedung sekolah yang biasanya riuh, kini sunyi. Rutinitas pembelajaran tatap muka di segala jenjang pendidikan beralih ke platform digital berbasis internet. Mulai dari kegiatan belajar mengajar, bimbingan, ujian, bahkan perayaan kelulusan, semuanya dilakukan secara virtual.
Di tengah serangan virus corona yang belum ada kepastian kapan akan berakhir, pemerintah berencana menggulirkan skema pembelajaran online secara permanen. Dalam rapat kerja bersama komisi X DPR RI, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, kondisi pandemi membuka kesempatan melakukan eksplorasi metode belajar mengajar melalui internet.
“Pembelajaran jarak jauh ini akan menjadi permanen. Bukan pembelajaran jarak jauh saja, tapi hybrid model,” ujar Nadiem pada Kamis, 2 Juli 2020.
Pembelajaran hybrid atau sistem blended learning adalah metode pemanfaatan teknologi dalam pendidikan. Model pembelajarannya menggabungkan sistem daring dengan interaksi tatap muka dari gaya pendidikan konvensional. Nadiem menekankan, setiap sekolah harus mulai beradaptasi menjalankan pendidikan melalui penggunaan internet.
Usulan Nadiem itu ternyata menuai respon beragam dari masyarakat. Banyak yang menanggapi secara positif, ada pula yang melontarkan kritik.
“Pemerintah sejauh ini cuma mewajibkan belajar online, tapi tidak menyiapkan sistem dan sarana penunjang,” ujar Iskandar Tsani, Kepala Program Studi Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri.
Doktor lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini menambahkan, pembelajaran online memang tidak dibatasi ruang dan waktu; kapan dan dimana saja bisa dilakukan. Akan tetapi, selama hampir lima bulan 60 juta siswa di Indonesia belajar secara daring, pelaksanaannya menemui beberapa kekeliruan mendasar. Misalnya, tenaga pengajar sekadar memberi tugas dan membiarkan siswanya mengerjakan.
Selain itu, sistem daring terkendala jangkauan akses internet yang belum merata. Banyak sekolah di Indonesia berada di daerah pedalaman sehingga susah sinyal. Secara teknis, pasti terdapat kesulitan dalam implementasi pengajaran berbasis online.
Lebih jauh Iskandar juga menilai, sistem penilaian pendidikan melalui online saat ini masih kurang efektif. Sistem daring menyulitkan para pendidik menentukan nilai ujian sebagai tolak ukur kelulusan. Salah satunya, saat berlangsungnya ujian online. Tidak ada yang menjamin apakah peserta didik mengerjakan soal secara mandiri karena digelar tanpa pengawasan.
“Validitas nilai ujian online sangat diragukan. Seharusnya, segera dirancang skema penilaian khusus untuk ujian daring,” ujar lelaki yang juga menjabat sebagai Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Kediri itu.
Senada dengan pendapat Iskandar, Fuad Dwi Saputra menilai bahwa tujuan pendidikan tidak semata-mata soal transformasi ilmu, tapi juga tentang penanaman nilai-nilai budi pekerti. Maka, proses tersebut harus melalui interaksi langsung dan tidak bisa digantikan aplikasi atau perangkat teknologi.
“Pendidikan karakter memerlukan kedekatan hubungan emosi antara guru dan murid,” kata staf pengajar di Madrasah Tsanawiyah Mts. Plus Madinatul Mubtadi-ien.
Segmen pelajar yang paling membutuhkan interaksi langsung yaitu para siswa yang baru memasuki sekolah dasar. Di tahap itulah wawasan tentang baca, tulis, dan hitung mulai diajarkan. Jika pelaksanaan pembelajaran ketiga poin tersebut tidak berjalan dengan baik, tentu akan berpengaruh pada proses pendidikan di jenjang selanjutnya. Apapun kondisi di balik itu semua, sistem belajar online hingga kini masih dianggap sebagai jalan terbaik. Akan tetapi, ketersediaan alat, jaringan, dan silabus pendidikan berbasis teknologi harus bisa mengakomodir kegiatan belajar mengajar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, pembelajaran online benar-benar menjadi solusi. (Kholisul Fatikhin)