RATUSAN warga dari lintas agama dan berbagai lapisan masyarakat, duduk bersama di Klenteng Tjoe Hwie Kiong, Kediri pada Jumat dini hari, 31 Mei 2019. Bersama Sinta Nuriyah, istri Presiden Indonesia Keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mereka mengkaji kembali nilai-nilai keberagaman dan pentingnya toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Diskusi untuk terus merawat keutuhan bangsa tersebut merupakan acara inti dari kegiatan Sahur Bareng dengan tajuk “Dengan Berpuasa Kita Padamkan Api Kebencian dan Hoaks”. Agenda tersebut dihadiri oleh para penganut agama maupun kepercayaan di kawasan Kediri. Antara lain dari kalangan umat Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan LDII; hingga pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konguchu.
“Acara sahur bersama ini sudah saya lakukan selama 20 tahun, sejak mendampingi Gus Dur saat masih di Istana Negara,” ujar Sinta Nuriyah.
Dalam kurun waktu dua dekade tersebut, acara sahur bareng dilaksanakan dengan mengajak para kalangan marjinal di berbagai kawasan di Indonesia. Misalnya, kaum dhuafa, tukang becak, pengamen, dan pemulung. Lokasinya pun tak berpindah-pindah: di kolong jembatan, pasar, terminal, stasiun, hingga alun-alun.
Dari upaya silaturahmi tersebut, Sinta Nuriyah mengantongi banyak hal. Termasuk, aspirasi rakyat untuk membuat kebijakan yang memberikan dampak. Sedangkan, pada kunjungannya ke Kota Kediri kali ini, sahur bareng fokus membahas tentang penguatan kembali kredo-kredo keberagaman sebagai pilar keutuhan NKRI.

Di hadapan ratusan warga Kediri yang meriung di halaman klenteng, Sinta Nuriyah mengajak mereka untuk melakukan refleksi. Secara sederhana tapi mengena, dialog berpegang pada hal-hal prinsip. Misalnya, dengan melempar pertanyaan seputar apa definisi Bhinneka Tunggal Ika, serta makna pluralisme kepada audience.
Seperti mengisi lembar absensi murid di sekolah, Sinta Nuriyah bertanya dari suku dan agama apa saja para peserta yang hadir pada kesempatan itu. Melihat keberagaman yang nampak di forum tersebut, dia menarik kesimpulan mendasar. “Dari sini kita tahu, bahwa perbedaan inilah wajah bangsa Indonesia. Maka jangan sampai kita mudah terpecah belah,” katanya disambut tepuk tangan dari hadirin.
Dia melanjutkan, tak bisa dipungkiri virus negatif seperti dengki dan kebencian, memang selalu ada dan bertengger di setiap hati manusia. Namun, setelah meraba dan mengetahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, masyarakat perlu membentengi diri agar tidak mudah terhasut oleh berita bohong atau hoaks.
Dialog keberagaman yang digelar di dekat Sungai Brantas ini diramaikan pula oleh beragam pertunjukan seni. Di antaranya Wayang Potehi Klenteng Tjoe Hwie Kiong, Pencak Silat dari LDII, Akustik Tali Jiwo dari GP Ansor Kota Kediri, serta gabungan seniman muda lintas agama Cengkir Gading.
“Dengan kegiatan seperti ini, harapannya dapat menguatkan simpul-simpul kerukunan masyarakat Kediri,”kata Taufik al-Amin, Ketua Paguyuban Lintas Masyarakat (PaLM)
Menurut pegiat pluralisme ini, perbedaan merupakan kekayaan dan aset bangsa yang harus terus dirawat dan dijaga. Adanya perbedaan bukan alasan untuk saling bermusuhan dan mengumbar kebencian.

Respon serupa diungkapkan oleh Prajitno Sutikno, Ketua Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Dipercaya sebagai tuan rumah pelaksanaan acara, baginya itu merupakan sebuah kehormatan. “Kondisi guyub semacam ini, semoga tidak hanya berlangsung di Kediri, tapi juga di kawasan lain di Indonesia,” ujarnya. (Kholisul Fatikhin)