KIAI Said Aqil Sirajh, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menyoroti materi Agama Islam pada kurikulum pendidikan di Indonesia. Menurutnya, uraian bahan ajar yang dikonsumsi oleh murid banyak mengandung pesan-pesan bernuansa kekerasan. Misalnya kisah-kisah perang; bila tidak dipahami secara komprehensif, dapat menjadi embrio munculnya gerakan terorisme.
“Para murid di sekolah diberi materi yang bercerita soal Perang Badar, padahal untuk memahami peristiwa itu harus punya bekal wawasan yang utuh,” kata Said Aqil Sirajh dalam sambutannya ketika membuka acara Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jawa Timur di Aula Muktamar Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Lirboyo, Kediri, Sabtu 28 Juli 2018.
Selain kisah perang, di buku pelajaran agama juga bertebaran ayat-ayat Alquran. Bilamana dipahami secara parsial, ayat itu seolah-olah menjadi ajakan untuk bertindak ekstrem.
Di hadapan pengurus Nahdlatul Ulama seluruh Kota dan Kabupaten di Jawa Timur, ulama yang pernah nyantri di Pondok Lirboyo itu berpesan, dalam melakukan dakwah, ayat dalam kitab suci tidak bisa digunakan sekenanya. Harus dalam porsi yang tepat, serta disesuaikan pada situasi dan kondisi tertentu.
“Pada acara resepsi pernikahan pun, kadang yang dibacakan malah ayat tentang perang,” kata Kiai yang sejak 2010 menjabat sebagai ketua PBNU itu.
Gerakan preventif untuk membendung terorisme memang terus digemakan oleh kaum Nahdliyin. Salah satunya, seperti yang disampaikan Kiai Said, yaitu melalui perbaikan kurikulum pendidikan. Namun, pekerjaan rumah bagi NU Jawa Timur tak hanya berkutat di masalah itu saja. Kiai Said berpendapat, para pengurus NU Jatim ke depan harus bergerak simultan untuk menyelesaikan masalah yang membelenggu umat. Utamanya, persoalan gizi buruk dan penguatan basis ekonomi lokal, agar bisa bersaing di pasar global.
Masalah yang tak kalah penting juga disampaikan oleh Ketua Tanfidiyah PWNU Jawa Timur, KH Hasan Mutawakil Alallah. Di Konferwil dengan tema “Menegakkan NU sebagai Payung Bangsa” ini, Ia berharap NU mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa di era modernisasi. Di samping itu, NU harus tetap berdiri di garda depan dalam menjaga keutuhan NKRI. Upaya tersebut terus dirawat, karena merupakan amanat dari para ulama terdahulu.
Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo ini mengajak warga NU untuk mengais semangat KH Mahrus Ali; Seorang ulama dari Pondok Lirboyo yang kala itu berjuang memerdekakan bangsa dari kungkungan penjajah. Kontribusi aktif KH Mahrus Ali melahirkan Resolusi Jihad dan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. “Sayangnya, peranan beliau tidak tertera pada buku sejarah,” ujar Kiai Mutawakil.
Berkenaan dengan pesta demokrasi yang tahun depan mulai bergulir, Kiai Mutawakil berharap puluhan juta warga NU di penjuru tanah air bijak dalam menentukan pilihan. “Jangan sampai NU jadi alat bagi partai politik,” katanya.
Selain ratusan delegasi, acara ini dihadiri oleh para ulama kawakan dari pondok pesantren di Jawa Timur. Mantan Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh dan Sekretaris Jenderal, PBNU Helmy Faishal Zaini juga datang pada Konferwil NU Jatim yang digelar di Aula Muktamar Lirboyo ini. (Kholisul Fatikhin)