HUJAN turun deras ketika Kiai Moh Mahfud Zen memelototi kitab fiqih. Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Alwi itu beberapa kali membetulkan letak kacamata yang gagangnya patah sebelah. Sore itu, dia masih bersemangat mengajar meski yang mengaji hanya lima santri.
Barangkali tidak banyak yang tahu, pesantren salaf di Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri itu didirikan oleh anak Pangeran Diponegoro yaitu Hasan Alwi. Dia adalah putra Diponegoro dari istri selir. Usai pecah Perang Jawa pada 1825-1830, tokoh bernama asli Raden Wiryokusumo itu melarikan diri ke Kediri.
“Beliau juga memiliki nama samaran Syafrudin untuk menghindari kejaran Belanda,” kata Moh Mahfud Zen, Kamis, 13 Maret 2025.
Mahfud Zen merupakan cicit dari Hasan Alwi. Pria 66 tahun itu bercerita bahwa ponpes ini dulunya bernama Islamiah, kemudian diganti menjadi Pesantren Hasan Alwi untuk menghormati jasa-jasanya.
Hasan Alwi berusia 17 tahun saat Diponegoro ditangkap dan diasingkan Belanda pada 1830. Sebagian wilayah Mataram diambil alih. Keluarga dan para pengikut berpencar ke seluruh wilayah Jawa termasuk Kediri.
Di kaki Gunung Wilis, Hasan Alwi membuka hutan untuk dijadikan pemukiman. Ketika pertama kali datang, dia menjumpai patung angsa yang dalam bahasa Jawa disebut banyak. Dari situlah, kawasan tersebut dinamai Banyakan.
“Pada 1860, Mbah Hasan mendirikan musholla kecil yang kemudian menjadi pesantren,” kata Mahfud.
Pria 3 anak ini menjelaskan, pendirian musholla itu dibantu para pengikut Diponegoro lainnya. Pohon sawo ditanam di halaman sebagai tanda bahwa perlawanan akan tetap dilanjutkan. Dari peperangan, perjuangan beralih ke pendidikan Islam. Pesantren diteruskan anak-anak Hasan Alwi hingga kini tongkat estafet jatuh ke Kiai Mahfud.

Semasa hidup, Hasan Alwi menikah dua kali. Istri pertamanya adalah Nyai Rohmah asal Ngetos, Nganjuk dan dikaruniai 5 anak. Sedangkan yang kedua, Nyai Kodhijah dari Kertosono yang memiliki 9 anak.
“Para keturunan Hasan Alwi didorong untuk pesantren, beberapa juga dinikahkan dengan keturunan Ponpes di kawasan Kediri,” ujar Mahfud.
Salah satunya yaitu pernikahan putra Hasan Alwi dengan putri Hasan Muchyi dari Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Hasan Muchyi adalah panglima perang Diponegoro bernama asli Rono Wijoyo.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Ashari menikah dengan Masruroh, putri Hasan Muchyi yang lain. Hasyim Ashari kerap ke Banyakan untuk berziarah ke makam Hasan Alwi.
Dari cerita para pendahulu, Hasyim Ashari membenarkan bahwa Hasan Alwi adalah putra Pangeran Diponegoro. Ketika putra tertua Sultan Hamengkubuwono lll itu diasingkan di Makasar, salah satu pengikutnya diminta menyerahkan keris dan kuluk kepada Hasan Alwi. Pada tahun 1943, kedua barang itu diterima KH. Badrus Sholeh Arif, cucu Hasan Alwi pendiri Ponpes Al-Hikmah, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri.

Saat ini, keturunan Hasan Alwi jumlahnya mencapai 5000 lebih. Mereka tesebar hampir di seluruh wilayah Jawa, beberapa di antaranya di Kalimantan dan Sumatra. Setiap dua tahun sekali mereka rutin mengadakan perkumpulan guna mempererat tali persaudaraan.
“Ilmu yang diajarkan keluarga sejak kecil adalah rendah hati, dan tidak menggunakan garis keturunan untuk keuntungan pribadi,” ujar Mahfud.
Para keturunan Diponegoro di Kediri tak ingin mendaftarkan catatan keturunan di Keraton Yogyakarta. Gelar bangsawan dilepaskan. Mereka fokus mengurus pondok, mengajar, dan memperbanyak ibadah layaknya kiai desa. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post