Pengantar Redaksi:
Perjalanan panjang Kediri melahirkan banyak hal yang kelak mengawali keberlangsungan sejarah berikutnya. Seperti arus sungai yang susul-menyusul, sejarah Kediri bergerak dalam lapisan-lapisan tebal, panjang, kerap tak saling berhubungan. Salah satu noktah yang turut mewarnai peradaban yang beragam itu adalah sosok Tan Khoen Swie, lelaki Cina yang turut memahatkan keniscayaan berubahnya tradisi lesan ke dalam tradisi tulis. Bagaimana sepak terjang Tan di semak-belukar sejarah Kediri, Dwidjo U. Maksum melakukan penelusuran yang kemudian diracik secara bersambung untuk para pembaca kediripedia.com di manapun berada.
Pemerintah Kota Kediri pada November 2001 membentuk Panitia Penelusuran Pelestarian dan Pengembangan Wisata dan Budaya. Pada 30 Maret 2002, tim yang dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 1216 tahun 2002 itu mulai melakukan pelacakan ke Solo.
“Tugas tim melacak dan mendapatkan kembali buku-buku terbitan Tan Khoen Swie dari berbagai sumber, termasuk dari berbagai tempat di Solo dan Yogyakarta,” kata Kusharsono.
Selain sastrawan Tan Khoen Swie, makam ulama Syech Sulaiman al Wasil di Kediri dan tokoh kejawen tempo dulu, Ponco Legowo juga menjadi sasaran tim ini.
Kepada keluarga ahli waris Tan Khoen Swie, Walikota Kediri HA Maschut mengharapkan buku-buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie diizinkan untuk dicetak ulang. Untuk operasional tim, walikota menyumbang dana 15 juta rupiah.
Jika keluarga ahli waris Tan menginjinkan, Pemerintah Kota Kediri akan memasukkan buku-buku cetak ulang itu ke Museum Airlangga, sebagai bukti atas pengakuan bahwa karya Tan Khoen Swie yang merupakan bagian dari sejarah Kota Kediri. Bekas toko buku Tan Khoen Swie dan kediaman Tan akan dijadikan situs budaya untuk obyek wisata ritual untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Menurut dr Gani, sikap seluruh ahli waris menyambut niat baik Pemerintah Kota Kediri mengangkat kembali sejarah Tan Khoen Swie. Apalagi akan menempatkan buku-buku Tan Khoen Swie di Museum Airlangga Goa Selomangleng. Tapi soal keinginan mencetak ulang buku-buku itu, menurut Gani masih belum mendapat lampu hijau dari Yuriah Tanzil selaku ahli waris.
Menurut Gani, niat mengangkat Tan Khoen Swie sebaiknya tidak terjebak dalam hal-hal mistik belaka. Lebih baik jika buku-buku Tan Khoen Swie dijadikan bahan diskusi rutin di bekas kediaman Tan. “Manfaat secara keilmuan akan jauh lebih penting, agar tidak menjadi tempat wingit,” kata Gani.
Upaya menerbitkan kembali sejumlah buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie pernah berhasil dilakukan. Sekitar tahun 2003, buku Serat Babad Kadiri karya Mas Ngabehi Purbawijaya cetakan tahun 1922 dan diperbaikiki oleh Mangun Wijaya pada tahun 1932, diterbitkan ulang atas prakarsa Gani dengan seijin Yuriah. Bahkan, lembaga penerbit buku itu menggunakan kembali nama Boekhandel Tan Khoen Swie dan tetap beralamat di Jalan Doho, Kota Kediri, Jawa Timur.
Proses pencarian naskah asli terbantu oleh Ny Halimah,warga Donayan, Kelurahan Semampir, Kota Kediri. Pada tahun 1978, Halimah mendapatkan buku itu dari ayahnya yang dulu bekerja di penerbitan Tan Khoen Swie. Oleh Halimah, buku berteks huruf Jawa Kuno itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa latin, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
“Sayangnya, buku Serat Babad Kadiri milik Bu Halimah yang asli hilang setelah dipinjam kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Kediri tak lama setelah Bu Halimah menerjemahkannya,” kata Gani.
Untungnya, Gani bisa mendapatkan buku asli dari sebuah toko buku bekas di Yogjakarta. Sehingga naskah asli buku yang ditulis dalam teks bahasa Jawa Kuno itu bisa dilampirkan ke dalam buku terbitan ulang berbahasa Indonesia. “Jadi, keberhasilan menerbitkan ulang itu sekaligus merupakan upaya menghidupkan kembali buku Serat Babad Kadiri yang hilang.”(Dwidjo U. Maksum) Tamat ~~~