ALUNAN gamelan mengiringi belasan remaja yang berlenggak-lenggok di Sanggar Tari Guntur, Kelurahan Mojoroto, Kota Kediri. Di depan dinding kaca, sang pelatih tari terus memberi aba-aba. Para murid itu mulai mandi keringat setelah menghentakkan kaki selama hampir setengah jam.
Di usianya yang menginjak 67 tahun, Guntur Tri Kuncoro, pemilik sanggar masih bersemangat mengajar. Nama Guntur sudah tak asing di kalangan seniman tari Kediri. Dia berhasil mempopulerkan tari Kethek Ogleng ke panggung internasional di Australia, Jepang, dan China.
Kata kethek diambil dari bahasa Jawa yang berarti kera. Sedangkan ogleng berasal dari bunyi “gleng” alunan gamelan.
“Sayangnya sekarang sudah sangat jarang yang menampilkan tari Kethek Ogleng di Kediri,” kata Guntur, Kamis, 23 Oktober 2025.
Menurutnya, tarian dengan ciri khas menirukan tingkah laku kera itu seharusnya bisa menjadi ciri khas Kediri. Sebab, kesenian ini menceritakan legenda dari kawasan yang terbelah Sungai Brantas. Bergenre dramatari, Kethek Ogleng merujuk pada Serat Panji yang mengisahkan cinta Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji.
Dalam pertunjukannya, tarian dibagi empat adegan. Dimulai dari gambyongan, penari kera putih, kudangan, dan ditutup adegan pertemuan. Karakter kera putih adalah penyamaran Panji. Gerakannya antara lain jalan bongkok, garuk-garuk, dan berguling-guling.

Guntur sejatinya bukan pencipta tari tersebut. Kethek Ogleng sudah eksis sejak puluhan tahun lalu. Selain ditampilkan di acara kebudayaan, dulunya banyak seniman mengamen berkeliling kampung. Dia mulai tertarik mendalami kesenian ini saat usia remaja. Setiap ada penari Kethek ogleng yang melintas di depan rumahnya, dia langsung ikut menari.
Bermodalkan semangat, dia bertekad mempelajari gerakan secara otodidak. Kala itu tidak ada guru yang mengajari, Guntur mengamati sendiri tingkah laku monyet.
“Saya lalu memperdalam ilmu di di Jogja. Akhirnya paham, ternyata begitu cara menari yang benar,” ujarnya.
Puluhan tahun mendalami tarian ini, Guntur memang berhasil mementaskannya hingga ke luar negeri. Namun, dia gelisah jika tak ada yang melanjutkan pelestarian tari Kethek Ogleng di Kediri. Sebagai pemilik sanggar, dia sudah semaksimal mungkin mengenalkan tarian itu. Namun, hingga kini masih jarang anak muda yang tertarik.
Kesenian ini barangkali masih ditampilkan, akan tetapi hanya pada saat karnaval. Dia mengakui bahwa membawakan tari Kethek Ogleng butuh persiapan panjang. Baik itu menata adegan, kostum, hingga perangkat gamelan. Sehingga, tidak banyak penari yang bisa menampilkannya.
“Sejak tahun 1980an saya ingin mempopulerkan kesenian legenda Kethek Ogleng di Kediri. Tapi belum berhasil,” kata Guntur.
Tersebab usia, Guntur telah berhenti menari Kethek Ogleng sejak lima tahun lalu. Namun, dia tak rela tarian ini punah. Dia masih menyimpan harapan besar agar kesenian itu terus dilestarikan. Sanggarnya terbuka lebar bagi siapa saja yang hendak mendalami tari Kethek Ogleng. (Azizah Gitaning Ratri, Siswi Sekolah Alam SAKA, sedang magang di Kediripedia.com)





Discussion about this post