Jika pada tengah malam tiba-tiba ingin memasak sup, Pasar Setono Betek adalah tempat paling tepat dituju. Pasar di Jalan Pattimura, Kota Kediri, Jawa Timur itu beroperasi selama 24 jam non-stop. Berbagai kebutuhan dapur, aneka sayur, dan buah; lengkap tersedia.
Memasuki pintu gerbang, aroma ikan laut menyambut setiap pengunjung. Berbagai kebutuhan primer seperti lauk-pauk dan sayur-mayur tertata di lapak yang berderet. Lauk berprotein seperti ikan laut, daging sapi, daging ayam, tahu, dan tempe, menumpuk dalam jumlah cukup besar. Sayuran segar pun tak mau kalah. Sawi, kubis, selada, brokoli, tomat, cabai siap direnggut para pembeli. Untuk memudahkan belanja, pengelola pasar mengelompokkan pedagang sesuai dengan apa yang mereka jual. Lapak lauk di sebelah utara, sementara sayuran ada di selatan.
Embun malam sudah pekat, tapi raut wajah pedagang terlihat segar. Mereka tak bosan menawarkan dagangan kepada semua orang yang melintas. “Mari, mari, silahkan dipilih,” seru Maesurah, salah seorang pedagang sayuran dengan nada ramah, Selasa 6 Desember 2016.
Ibu berumur 50 tahun itu mulai berdagang di sekitar jalan Pattimura pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian, dia pindah ke Pasar Setono Betek. “Saat pertama kali dagang di Setono Betek, jalan masih becek karena banyak rawa sehingga jarang didatangi pengunjung,” jelas Ibu berputera satu itu.
Menggelar lapaknya hampir 24 jam, Maesurah melakukan aktivitas keseharian seperti makan dan tidur, di pasar. Sehingga dia jarang berkumpul dengan keluarga. Nenek satu cucu ini sudah menyatu dengan aktivitas pasar, termasuk mengalami kebakaran sekitar dua dekade yang lalu. “Yang penting setiap hari bisa makan, tidur, lalu jualan lagi,” kata dia sembari membersihkan bawang merah dagangannya.
Soal harga, sudah barang tentu bisa ditawar. Pasar tradisonal memang identik dengan kegiatan mencari ujung kesepakatan harga. Berbeda dengan pasar modern yang tidak bisa ditawar harganya. Sisi menarik lainnya, interaksi antara penjual dan pembeli berlangsung sangat cair. Mereka biasa saling melempar canda.
Suara bising transaksi yang berbenturan dengan suara naik turun timbangan bebek, menjadi harmoni sehari-hari. Di lorong sempit pembeli berhimpitan satu sama lain dengan tergopoh-gopoh menenteng barang belanjaan. Tidak ada perlakuan khusus buat pembeli. Mau beli banyak atau sedikit, semua dilayani dengan baik.
Salah satu pemandangan yang cukup mengasyikkan adalah menjelang berkumandangnya adzan subuh. Ratusan bakul etek (penjual sayur keliling) mulai berdatangan membeli sayuran dengan harga yang lebih miring untuk dijual kembali. Mereka mengisi gerobak obrok yang menempel di sepeda motor dengan aneka sayuran. Agar tidak telat sampai ke langganan mereka, para bakul kerap kali berebutan dan saling berpacu menggeber motornya. “Hampir tiap hari sesama pedagang nyaris serempetan karena semua tergesa-gesa,” kata Prapti, salah seorang pedagang etek.
Prapti dan mungkin ribuan orang yang setiap hari mencari nafkah di Setono Betek, menunjukkan bahwa pasar itu tetap eksis. Sebagai pasar tradisional, Setono Betek masih memainkan peran vital di sektor ekonomi. Di saat pasar modern yang juga menyediakan kebutuhan dapur terus bertebaran, Pasar Setono Betek masih jadi pilihan. (Kholisul Fatikhin)