Semakin menjamurnya media massa di Indonesia, membuat semakin bertambahnya jumlah pekerja media di berbagai kota dan daerah. Sehingga tidak heran jika sekarang hampir di setiap wilayah tumbuh subur pekerja media. Media nasional maupun lokal selalu mengandalkan liputan dari berbagai daerah, dari semua isi berita yang disiarkan atau ditayangkan, terutama televisi, sekitar 70 persen merupakan pasokan dari wartawan daerah atau yang biasa disebut kontributor. Pentingnya seorang kontributor untuk menjadi ujung tombak informasi dari berbagai daerah, ternyata tidak dibarengi status yang jelas. Bahkan jaminan kesehatan dan kesejahteraan, tidak menjadi prioritas perusahaan media tempat mereka bekerja.
Kontributor, mahluk apakah itu? Masyarakat umum mungkin asing dengan istilah kontributor media, mereka tahunya wartawan yang ada di daerah merupakan bagian dari karyawan perusahaan media yang ditugaskan di daerah. Namun kenyataanya, banyak wartawan daerah atau alias kontributor, tidak termasuk bagian dari karyawan. Kontributor atau sering disingkat kontri adalah nama keren dari pekerja kontrak atau pekerja paruh waktu. Banyak kontri yang tidak punya surat kontrak kerja dan tidak memperoleh pembelaan pada saat menghadapi masalah. Perusahaan media yang paling banyak menggunakan jasa kontributor dan tidak memasukkannya sebagai karyawan adalah media televisi, termasuk media-media tv nasional yang terlihat keren di Jakarta.
Sungguh ironis, hasil karya kontributor daerah selalu dibutuhkan redaksi sebuah media, ternyata tidak dibarengi dengan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja. Padahal tanpa kerja seorang kontributor, masyarakat akan kesulitan mendapatkan informasi dari media, terutama soal isul lokal. Bayangkan jika para kontributor media melakukan mogok kerja massal sehari saja dan tidak mengirimkan hasil liputannya, sudah pasti pihak redaksi media di kantor pusatnya akan kelabakan. Jika tak ada materi berita masuk, rating maupun penjualan iklan media akan mengalami penurunan.
Jika seluruh kontributor berhenti bekerja, bisa dipastikan bisnis media akan gulung tikar, itu karena hampir 70 persen konten berita, berasal dari daerah, hanya 30 persen materi berita berasal dari kota utama media tersebut.
Fadly Rahmawan, sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri mengatakan, dari hasil riset AJI Kediri, hampir 85 persen anggota AJI Kediri yang bekerja sebagai kontributor, tidak mendapatkan perlindungan dari perusahan medianya bekerja, baik itu jaminan kesehatan maupun jaminan hari tua.
Fadly yang juga bekerja sebagai kontributor media televisi nasional selama 8 tahun ini, menambahkan, meskipun hasil karya para kontributor sangat dominan, nasibnya tak kunjung membaik hingga kini. Seperti jurnalis umumnya, kontributor bekerja mempertaruhkan waktu, terkadang keselamatan dan nyawa untuk mencari berita, bahaya dan ancaman bisa datang kapan saja demi hasil liputan yang maksimal.
Seorang kontributor baru dibayar jika berita atau hasil karyanya ditayangkan di media. Sebaliknya, jika berita mereka tidak ditayangkan, mereka tidak mendapatkan apa-apa meskipun untuk memperoleh hasil liputan, mereka sudah mengeluarkan biaya operasional dari kantongnya sendiri.
“Sungguh menyedihkan melihat kondisi nasib para kontributor media, hasil karya mereka selalu dibutuhkan, namun dari perusahaan seperti tidak ada perlindungan terhadap mereka. Bahkan, mereka baru dibayar ketika hasil karyanya ditayangkan, jika tidak ya tidak mendapatkan upah meskipun dalam melakukan pekerjaanya, kontributor sudah mengeluarkan biaya operasional sendiri seperti biaya internet, beli bahan bakar kendaraan dan lain-lain,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh jurnalis senior Hari Tri Wasono, salah satu kontributor Tempo yang bertugas di wilayah Kediri dan sekitarnya. Dia mengaku gajinya tergantung jumlah berita yang ditayangkan. Selama ini, dia tidak menerima gaji tetap, asuransi kesehatan atau jaminan hari tua. Sehingga jika sewaktu-waktu ia sakit atau mengalami musibah dalam melaksanakan tugas liputan, pihak perusahaan tidak bertanggung jawab.
“Selama ini saya tidak mendapatkan gaji tetap. Saya baru mendapatkan honor kalau berita saya ditayangkan. Padahal untuk setiap liputan, saya harus mengeluarkan biaya operasional setiap kali liputan. Apalagi kalau terjadi kecelakaan atau sakit, saya harus mengeluarkan biaya sendiri,” tandasnya.
Demi memperjuangkan nasibnya, para kontributor yang tergabung dalam organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri, tidak henti-hentinya mencari jalan keluar yang bermartabat. Mereka berdiskusi, bertukar pikiran dan mencari masukan berbagai pihak, demi masa depannya sebagai jurnalis. Tentu bukan amplop atau fasilitas khusus dari pejabat yang diperjuangkan, melainkan perbaikan nasib para kontributor secara umum.
Untuk memperjuangkan nasibnya, beberapa kontributor acapkali melakukan aksi demo menuntut perusahaan media memberikan kejelasan status kontrak kerja. Banyak kontributor melakukan tugasnya hanya berbekal ID Card dari perusahaan media, tanpa kontrak kerja yang jelas. Bahkan ada yang mendapatkan selembar kertas kontrak, namun dalam isi kontraknya menempatkan kontributor sebagai “mitra kerja” bukan karyawan yang menerima gaji tetap. Padahal para kontributor melakukan tugasnya secara rutin seperti yang dilakukan karyawan tetap, yakni menyetor berita secara teratur dan bekerja hanya di satu media.
Dewi Kartika, kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Kadisnakersos) Kota Kediri mengungkapkan fakta hubungan kerja, jika kontributor menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan media sebagai mitra, maka selama itu tidak bisa disebut karyawan dan dia tidak berhak mendapatkan hak-haknya sebagai karyawan.
Kadisnakersos Kediri menyarankan, para kontributor mempelajari dengan seksama kontrak kerja dengan perusahaan media sebelum menandatanganinya. “Kontrak kerja harus diubah isinya yang dari status ‘mitra’ menjadi ‘calon karyawan’ sehingga kontrak kerja memiliki batas dan pihak perusahaan harus memutuskan kapan status calon karyawan itu menjadi karyawan tetap atau diberhentikan dengan pesangon sesuai aturan,” tuturnya.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Yudie, koordinator Serikat Pekerja AJI Indonesia. Menurutnya, sesuai UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, siapapun yang punya atasan, menerima perintah dan upah dari pemberi kerja, itu tergolong sebagai buruh/pekerja. Jadi seorang kontributor adalah pekerja. Sehingga sudah selayaknya mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja pada umumnya.
“Untuk itu, agar pekerja media terutama kontributor memiliki nilai tawar dalam menyuarakan haknya, harus berserikat. Dengan berserikat, tentu akan bisa lebih kuat dalam memperjuangkan hak-haknya. Jika dalam perusahaan ada buruh yang berserikat, maka manajemen perusahaan wajib melibatkan serikat buruh/pekerja dalam merumuskan perjanjian kerja bersama. Sedangkan perusahaan yang tidak melibatkan serikat pekerja dalam menyusun draft perjanjian kerja bersama, maka perusahaan tersebut terkena sanksi denda dari pemerintah,” tegasnya.
Memang ada beberapa media menerapkan sistem karyawan bukan sistem kontributor. Media seperti itulah yang patut ditiru media lain yang masih menggunakan pekerja kontributor tanpa status yang jelas.
Salah satu media yang menerapkan sistem karyawan adalah Kili Suci TV yang ada di Kediri. Kili Suci TV atau KSTV menerapkan status yang sama kepada semua karyawan, baik di kantor utama maupun kantor daerah. Semua karyawan juga mendapatkan hak-haknya dasar, mulai dari gaji tetap, jaminan kesehatan dan biaya liputan.
Muftie Ali, Manajer Operasional Kili Suci TV (KSTV) mengungkapkan, selama ini pihaknya tidak pernah menerapkan istilah kontributor. “Semua karyawan di media kami, mendapatkan perlakuan yang sama, baik itu bagian pemberitaan, produksi maupun marketing, mereka mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai karyawan pada umumnya,” ungkapnya.
Jika perusahaan media menggunakan kontributor sebagai mitra kerja, maka akan sulit mendapatkan hak-haknya sebagai karyawan. Sistem itu harus diubah dari perjanjian mitra kerja menjadi karyawan, sehingga tidak ada perjanjian antara kontributor dengan kantor media massa, yang ada perjanjian pekerja dengan perusahaan.
Sementara itu, untuk mewujudkan kesejahteraan kontributor, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri yang merupakan organisasi profesi jurnalis, merumuskan beberapa solusi. Solusi pertama diperlukan serikat pekerja atau serikat kontributor yang solid, karena dengan terbentuknya serikat, maka pihak kontributor yang berperan penting dalam pengisian konten berita, memiliki nilai tawar sebelum melakukan tanda tangan kontrak.
Solusi kedua, meningkatkan kapasitas dan kemampuan para jurnalis dalam peliputan dan penyajian berita. Sehingga jika para kontributor memiliki kemampuan yang bagus, maka tidak sulit mencari kantor media yang memberikan kesejahteraan lebih baik.
Niat AJI Kediri untuk mendorong terbentuknya serikat pekerja media, ternyata juga dilakukan oleh AJI Surabaya, AJI Malang, AJI Jember dan AJI Bojonegoro. Akhirnya lima AJI di Jawa Timur berkumpul di Bojonegoro sekaligus menggelar workshop tentang perburuhan yang difasilitasi oleh AJI Indonesia. Dalam rapat yang diikuti sekitar 40 orang anggota AJI Jawa Timur Dan 2 orang Aji dari Semarang pada tanggal 20 Desember 2015, disepakati bersama, bahwa lima AJI di Jawa Timur bertekad membentuk sebuah serikat pekerja media yang dapat menampung aspirasi dan keluhan pekerja media serta mampu memberikan pendampingan bagi anggotanya saat terjadi sengketa kerja. Termasuk, bersama-sama turut memperjuangkan hak-hak pekerja media.
“Karena selama ini, persoalan kesejahteraan jurnalis tidak ada yang memperjuangkan. Usaha membuat serikat pekerja di perusahaan banyak mengalami kendala skill, teknis dan nonteknis. Sedangkan organisasi tidak bisa maksimal dalam memberikan advokasi kesejahteraan jurnalis karena memang bukan serikat pekerja. Begitu pula dewan pers tidak bisa intervensi soal standar upah jurnalis,” jelas M Rudy Hartono yang terpilih sebagai Ketua Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM).
Rudy Hartono, menambahkan, dalam kesepakatan bersama tersebut ditentukan, siapapun pekerja media yang ingin bergabung menjadi anggota SPLM bisa siapa saja, security, driver, cleaning service, HRD, keuangan, pemimpin redaksi, koordinator, produser, redaktur, cameraman, reporter, presenter, kontributor dan siapapun yang terpenting masih aktif bekerja di perusahaan media. “Anggota pun tidak dibatasi oleh organisasi, baik itu PWI, IJTI atau perhatian Jurnalis dalam bentuk apapun diberi kesempatan yang sama,” katanya.
Anton, panggilan M Rudy Hartono menuturkan, untuk memperkuat jaringan serikat ini, maka SPLM berafeliasi dengan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen. Hal ini dikarenakan FSPM Indendepen dinilai strategis dalam advokasi kasus, pendanaan, program dan solidaritas pekerja media. Fakta lainya, banyak perusahaan media berbentuk korporasi yang kepemilikanya tersentral di Jakarta.
Dari catatan divisi serikat pekerja AJI Indonesia, ada sekitar 2000 perusahaan media di Indonesia, namun hanya ada sekitar 20 serikat pekerja yang aktif. Artinya hanya 1% serikat pekerja yang ada di perusahaan media. Hal inilah yang membuat lemah pekerja media dalam memperjuangkan nasibnya. (Afnan Subagio)