SEBUAH gang di Kelurahan Setono Pande, Kota Kediri terasa sunyi. Sejak meninggalnya Mbah Sir—sang perajin besi terakhir—bunyi hantaman martil, gada, dan gesekan amplas tak lagi terdengar. Bengkel para pandai besi di kawasan sebelah utara Alun-alun Kota Kediri ini sudah berganti permukiman padat.
Di kiri kanan gang selebar 2,5 meter itu rumah-rumah warga berhimpitan. Mayoritas penghuninya adalah para kuli yang bekerja di toko-toko milik orang Tionghoa.
“Aktivitas pandai besi itu masih terlihat hingga 1960-an,” kata Muji, warga Kelurahan Setono Pande, Kelurahan Kota, Kediri, Rabu 18 Desember 2024.
Saat masih remaja, Muji masih menjumpai kawasan tempat tinggalnya dijadikan lokasi berkumpulnya para pandai besi di Kediri. Benda-benda tajam seperti pisau, sabit, dan cangkul dihasilkan dari tangan-tangan para perajin di Setono Pande.
Dari riuh aktivitas menempa besi itulah, masyarakat menyebut daerah ini dengan Setono Pande atau Pandean. Nama itu diambil dari bahasa Jawa, yaitu “Setono” yang berarti rumah dan “Pande” yaitu pembuat senjata atau tukang besi.
“Setelah meninggalnya Mbah Sir, tak ada lagi pandai besi di Setono Pande,” ungkap pria kelahiran 1950 itu.
Mbah Sir mengolah besi di kediamannya yang berada di Gang 2, RT 01, RW 02 Kelurahan Setono Pande. Dia masih mempertahankan cara tradisional dengan mengandalkan tenaga manusia. Peralatan yang digunakan adalah tungku, pompa, dan palu untuk memipihkan lempengan besi.
Menurut Muji, saat itu pemasaran benda-benda tajam hanya melalui mulut ke mulut. Meski demikian, satu-satunya pandai besi yang tersisa itu tak pernah sepi pesanan. Nama Mbah Sir terkenal beriringan dengan kawasan Pandean. Usai tutup, bengkel milik Mbah Sir kini juga telah berganti menjadi hunian warga.
“Anak dan cucunya tak ada yang meneruskan profesi sebagai pandai besi,” kata kakek tiga cucu itu.
Dari penelusuran Kediripedia.com, pekerjaan pandai besi seperti yang ditekuni Mbah Sir sudah eksis sejak masa Jawa kuno. Para arkeolog menyimpulkan bahwa masyarakat sudah mengenal pengolahan logam seperti emas, perunggu, dan tembaga pada abad ke-8 masehi.
Pada masa Majapahit, peran pandai besi sebagai pembuat senjata perang sangat penting bagi kerajaan. Mereka ditempatkan di ibu kota untuk memperkuat balatentara. Kehidupan mereka dijamin dan dilindungi oleh raja.
Sigit Widiatmoko, Dosen Sejarah Universitas Nusantara PGRI Kota Kediri memperkirakan Setono Pande adalah permukiman pembuat senjata perang pada zaman kerajaan. Penamaan daerah di Indonesia seringkali beriringan dengan aktivitas masyarakat. Ilmu asal usul wilayah ini disebut toponimi.
“Penamaan wilayah yang sesuai dengan aktivitas masyarakat ini mulai berkembang sejak masa Sultan Agung,” kata Sigit.
Wilayah dengan imbuhan –an ini mulai banyak bermunculan pada zaman kesultanan Mataram Islam itu. Pengolahan besi dilakukan turun temurun, hingga menjadi kebudayaan yang mempengaruhi sistem tata kota.
Selain Pandean, terdapat beberapa kelurahan di sekitarnya yang juga identik dengan nama pekerjaan. Misalnya Jagalan yaitu tempat para pemotong hewan, dan Kemasan yang menjadi tempat berkumpulnya perajin emas.
Sudah tak ada lagi pandai besi di Setono Pande. Pekerjaan mengolah logam di kawasan itu sudah hilang lebih dari 50 tahun. Bengkel-bengkel perajin beralih menjadi pemukiman. Jejaknya hanya tinggal nama yang kini masih dipertahankan sebagai kelurahan di Kota Kediri. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post