BUNYI tabuh gamelan terdengar bertalu-talu, ketika tradisi Nyadran di Desa Sonoageng, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk tengah berjalan. Nada-nada pentatonis dari pukulan demung, saron, peking, dan bonang; mengiringi ribuan warga yang berjejalan menenteng hasil bumi, serta ambengan wadah nasi dan lauk pauk menuju makam lehuhur.
Upacara doa mengucap rasa syukur di kawasan tapal batas selatan Kabupaten Nganjuk dilaksanakan pada Kamis, 20 Juni 2019. Menurut penanggalan Jawa hari itu adalah Kamis Legi malam Jumat Pahing. Nyadran yang populer disebut bersih desa secara rutin digelar setiap setahun sekali. Warga Sonoageng menyelenggarakannya saat musim kemarau tiba atau setelah dua kali masa panen.
“Nyadran diperingati pada Kamis Legi malam Jumat Pahing, karena hari itu bertepatan dengan moksanya leluhur kami bernama Eyang Said,” kata Sunarto, Juru Kunci Makam Desa Sonoageng.
Eyang Said adalah seorang pejabat dari Kerajaan Mataram. Dia datang ke Sonoageng dan membuka pemukiman di mana kawasan tersebut ratusan tahun silam masih berupa hutan belantara. Sunarto mendengar kisah itu dari ayahnya yang dulu dipercaya pula menjadi juru kunci makam.
Sebelum Eyang Said melakukan pertapaan hingga akhirnya moksa atau wafat tanpa meninggalkan jasad, dia berpesan kepada warga Sonoageng agar secara rutin memainkan Wayang Krucil dan Kentrung. Hingga kini masyarakat masih memegang teguh wasiat tersebut, sebagai bentuk pemuliaan dan penghargaan atas jasa-jasanya.
“Pagelaran dua kesenian tersebut wajib dimainkan pada pelaksaan nyadran,” ujar Tohar. Pria yang juga diamanahi sebagai juru kunci itu mengatakan, dari cerita tutur yang berkembang, Wayang Krucil dan Kentrung merupakan pertunjukan yang disukai Eyang Said ketika masih hidup.
Seni wayang krucil sendiri secara pertunjukan sebenarnya mirip dengan wayang kulit. Perbedaan yang menonjol terletak pada penggambaran visual para tokoh. Dibuat dari kayu, wujudnya menyerupai wayang golek namun cenderung pipih.
Di sejumlah daerah di Jawa Tengah mengenal kesenian ini dengan sebutan wayang klithik. Kisah-kisah yang biasa dimainkan antara lain, Cerita Panji, Cerita Menak, dan Damar Wulan. “Berbeda dengan wayang kulit, di wayang krucil tidak terdapat kelir atau layar putih,” kata Tohar.
Dalam pementasan wayang krucil terdapat lubang segi empat. Letaknya tepat di depan dalang dengan ukuran 1,5×1,5 meter. Format konstruksinya seperti jendela, mirip Wayang Potehi di kebudayaan Tionghoa.
Sedangkan kesenian Kentrung, merupakan seni memainkan alat-alat musik tradisonal Jawa. Bukan permainan gitar ukulele seperti konser musik keroncong. Pertunjukan kentrung dibawakan sambil bertutur tentang cerita-cerita di masa lampau. Selain gamelan, piranti yang digunakan yaitu kendang dan rebana.
Satu grup seni kentrung terdiri dari tiga sampai tujuh musisi. Dalam perayaan Nyadran Sonoageng, suguhan kentrung dimainkan oleh grup dari Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Supriadi yang berperan sebagai pendongeng, mempunyai tugas ganda. Selain dalang, dia mengoperasikan alat musik kendang.
“Kesenian kentrung sudah saya mainkan selama 30 tahun,” kata Supriadi.
Saat beraksi, pria berkopyah itu mengatur ritme nada sambil menuturkan kisah Angling Dharma tanpa membaca teks. Di sela cerita dia menyelipkan parikan atau kalimat rima yang terdiri dari dua baris. Parikan yang dilontarkan Supriadi memuat pesan-pesan berupa nasehat dan humor.
Wayang Krucil dan Kentrung dalam acara Nyadran Sonoageng Kabupaten Nganjuk, merupakan satu dari banyak cara masyarakat Jawa menghargai para leluhur. Di kawasan lainnya, tradisi digelar dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, melempar kepala kerbau di Trenggalek, meniup seruling dan menabuh gendang suku Tengger, serta kirab gunungan kain batik di Kulon Progo. Di tengah peradaban baru yang terus bergulir, Nyadran barangkali satu-satunya harapan bagi berbagai kesenian tersebut agar tetap bertahan. (Kholisul Fatikhin)