ASAL-usul penamaan sebuah desa tak lepas dari peristiwa, sejarah, maupun keunikan daerah. Demikian juga dengan Desa Pule di Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri.
Banyak yang mengira sebutan “Pule” diambil dari tanaman bernama latin alstonia scholaris yang biasa ditemui di Pulau Jawa. Namun, anggapan itu ternyata salah. Nama Pule lahir dari kisah pengikut Pangeran Diponegoro yang lari ke Kediri setelah Perang Jawa pada 1830.
“Desa ini bernama Pule, tapi sama sekali tidak ditemukan pohon pule,” kata Sucipto, Kepala Desa Pule, Kamis, 24 November 2022.
Berdirinya desa di kawasan Kediri Selatan ini berawal dari kedatangan Ki Ageng Suryo Kusumo atau yang dikenal dengan Ki Ageng Djimboen atau Mbah Jimbun. Nama tokoh tersebut diabadikan menjadi sebutan sebuah perempatan di Desa Pule. Dari cerita tutur masyarakat, dia adalah kerabat dekat Keraton Mataram Islam.
Mbah Jimbun berkelana ke Jawa Timur, lalu menetap di Desa Rembang Ngreco, Ngadiluwih, Kediri. Sayangnya, daerah itu mengalami paceklik dan kekeringan. Dia memutuskan pindah ke wilayah yang memiliki ketersediaan air.
Ketika berjalan ke arah timur, dia menemukan sebuah tempat yang sumber airnya tidak pernah mengering. Di lokasi yang kelak disebut Desa Pule itu, mata air mudah ditemukan serta dikelilingi rawa.
“Ada tiga pengikut Diponegoro yang menyusul Mbah Jimbun ke Kediri usai Perang Jawa selesai,” ujar Sucipto.
Sejarah mencatat, Perang Jawa terjadi pada 1825 sampai 1830. Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan terbesar masyarakat Jawa ketika menentang Pemerintah Kolonial Belanda. Perang berakhir dengan ditangkapnya Diponegoro, kemudian diasingkan ke Makassar. Sedangkan ribuan pasukan tetap diburu Belanda hingga menyebar ke Jawa Timur.
Tiga orang bekas pasukan Diponegoro yang lari ke Kediri adalah Ki Ageng Nggoro, seorang prajurit perang; Ki Komak, ahli pemerintahan; dan Ki Sriyun, orang yang dituakan. Mereka lalu bertemu Mbah Jimbun dengan misi melanjutkan perjuangan melalui dakwah ajaran Islam.
Ketiganya berkumpul di kediaman Mbah Jimbun yang difungsikan sebagai padepokan. Kisah bertemunya empat tokoh itulah yang menjadi dasar penamaan Desa Pule. Kata “Pule” diambil dari bahasa Jawa Ngumpule yang berarti berkumpulnya para tokoh dari Mataram Islam.
“Kisah ini diwariskan lewat cerita tutur dari generasi ke generasi. Untuk merawatnya, kami menarasikannya menjadi sebuah buku berjudul Sejarah dan Dinamika Budaya Pule pada 2021,” kata Dendik Rulianto, Ketua Karang Taruna Desa Pule.
Dalam buku tersebut diceritakan bahwa hutan berhasil menjadi permukiman seiring berdatangannya orang-orang dari berbagai daerah ke Desa Pule. Pesatnya permukiman mulai tampak di masa kolonial Belanda. Desa ini berkontribusi penting pada kejayaan industri gula. Selain terdapat pos pantau di perempatan Jimbun, didirikan juga depo atau tempat reparasi kereta uap.
Sisa kejayaan zaman Belanda juga bisa dilihat dari bekas mesin penggilingan tebu dari era pemerintahan Ratu Wilhelmina. Mesin itu milik kakek dari Sucipto, Kepala Desa Pule. Benda tersebut dulunya beroperasi dengan ditarik sapi.
“Dari data yang kami kumpulkan, kawasan Pule sudah terdapat permukiman sebelum kedatangan Mbah Jimbun,” kata Dendik.
Asumsi itu lahir dari ditemukannya tinggalan arkeologi seperti artefak altar, lingga yoni, dan tugu batas dari batu andesit. Benda tersebut membutuhkan penelitian lebih lanjut, karena kemungkinan besar berasal dari peradaban masyarakat di era Kerajaan Kediri atau Majapahit. (Nonik Meieka Wulandari, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post