DI sudut ruang tamu, lelaki itu duduk sambil memainkan gitar listrik berwarna hitam. Petikan nadanya tajam, kadang tak beraturan, tapi masih nyaman didengar. Tempo lagu yang semula pelan tiba-tiba berubah cepat. Suara distorsi gitar menggelegar, membuat suasana yang awalnya sunyi menjadi mencekam.
Pria bernama Wisnu Artha Wadana itu bukan sedang mengisi efek suara atau scoring musik film horor. Dia adalah gitaris band Killharmonic, grup musik asal Kediri, Jawa Timur beraliran rock Death Metal. Bagi pecinta rock di Indonesia, Killharmonic dikenal lewat lagu-lagu yang progresif, teknikal, serta kaya aransemen nada-nada bernuansa gelap.
Di Kediri, grup ini barangkali jarang diketahui. Namun, mereka sudah malang melintang di panggung musik rock Indonesia. Di antaranya, Malang, Surabaya, Madiun, Sidoarjo, Magelang, Palangkaraya, dan Jakarta.
Pada gelaran Hammersonic Festival 2017 di Jakarta, Killharmonic tampil di acara musik metal terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Grup musik cadas asal Kediri ini menjadi band pembuka Megadeth, band metal asal Amerika.
“Nama Killharmonic sebenarnya plesetan dari istilah dalam dunia orkestra yaitu philharmonic,” kata Wisnu atau yang akrab disapa Innu kepada Kediripedia.com pada Senin, 7 November 2022.
Konsep rock yang ditekuni lelaki 44 tahun itu banyak terinspirasi dari alunan orkestra. Dalam dunia musik, philharmonic adalah pertunjukan simfoni orkestra yang menggunakan 100 instrumen.
Unsur orkestra yang diadaptasi membuat karya-karya yang dihasilkan memiliki ciri khas elaborasi nada di setiap lagu. Elemen melodik lalu dikombinasikan dengan unsur death metal yang identik dengan vokal growl atau teknik bernyanyi sambil menggeram. Komposisi musik diperkaya juga dengan ketukan drum double pedal yang menggebu-gebu.
Warna permainan gitar Innu banyak dipengaruhi gitaris metal internasional. Di antaranya Yngwie Malmsteen, Marty Friedman dari band Megadeth, Andreas Kisser Sepultura, serta band-band yang mengusung gaya Neoklasik seperti Dream Theater, Halloween, Metallica, Yes, dan Deep Purple.
Killharmonic dibentuk pada 1997. Selama hampir 25 tahun perjalanannya Kelompok musik ini sudah menghasilkan 4 album. Album pertama dirilis tahun 2000 berjudul Hatread Dimished In Dismembered Head,kemudian pada 2002 Hate dead never set. Sedangkan ketigadirilis pada 2010 bertajuk Human race disgrace, dan album keempat Hymn of the Apocalypse tahun 2017.
“Kita beberapa kali bongkar pasang personil, tapi itu tidak mengubah genre dalam bermusik,” ujar lelaki yang kini bekerja sebagai tenaga IT Rumah Sakit Gambiran Kota Kediri.
Personil sering berubah karena berbagai alasan seperti ada anggota yang merantau, mendapat pekerjaan di luar Kediri, hingga menikah dengan orang luar Jawa. Susunan terakhir band Killharmonic diisi Innu sebagai gitaris, Deni Pandu di posisi bass, Billy di drum, dan vokalis yang baru bergabung yaitu Bayu.
Semua lagu di empat album memiliki pesan sosial, agama, protes pada pemerintah, aborsi ilegal, serta melawan diskriminasi. Musik mereka memang kental dengan unsur gelap. Hal itu mewakili kepedihan, keresahan, kepasrahan, dan rasa kecewa yang pasti dirasakan setiap manusia.
“Kebanyakan orang menganggap musik metal negatif, namun pesan yang kami sampaikan sebenarnya tentang kebaikan,” kata Innu.
Dia menambahkan, musik metal di Indonesia tidak bisa dianggap stagnan. Di berbagai daerah animo musik rock masih besar, salah satunya lewat gelaran festival internasional. Para musisi itu juga masih menelurkan album-album secara mandiri.
Sama seperti Killharmonic, mereka tidak begitu peduli dengan industri atau selera pasar. Musik rock tidak akan ditinggalkan penggemar selama band rock tetap eksis dan terus berkarya. (Diski Maulana, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post