SEKITAR 100 juta tahun silam, daerah Tulungagung adalah dasar laut yang mengalami orogenetik atau pergeseran lapisan tanah secara vertikal. Proses alamiah terangkatnya kulit bumi itu membentuk sebuah daratan, serta jajaran gunung kapur yang dikenal dengan karts atau pegunungan kendeng.
Pada Juli 2022, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengusulkan pegunungan karts Tulungagung sebagai kawasan geopark. Dari penelitian yang dilakukan selama 3 tahun, wilayah ini menyimpan rekaman peristiwa penting seperti sejarah aktivitas pergeseran lempeng bumi, makhluk hidup, serta budaya dari zaman manusia purba.
Geopark Tulungagung rencananya dinamai The Home of Wajak Man. Sebutan itu merujuk pada penemuan fosil manusia purba pada 24 Oktober 1888. Saat itu, ahli geologi Belanda B. D. van Rietschoten tidak sengaja menemukan fosil ketika eksplorasi bebatuan marmer. Benda purbakala seperti tulang, tengkorak, dan kapak perimbas lalu diserahkan kepada Eugene Dubois. Dia adalah dosen anatomi asal Belanda yang terobsesi membuktikan adanya spesies penghubung antara manusia dan kera pada teori evolusi Charles Darwin.
Dubois meneliti dan menandai penemuan di Tulungagung dengan sebutan Homo Wajakensis. Sebutan ini diambil dari nama lokasi penggalian yang berada di Distrik Wajak, yang sekarang berganti nama menjadi Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
“Fosil tersebut kini disimpan di Museum Belanda, sedangkan di Museum Tulungagung hanya replikanya saja,” kata M. Dwi Cahyono, Dosen Sejarah dan Arkeologi Universitas Negeri Malang, Kamis, 23 November 2022.
Identifikasi fosil menghasilkan kesimpulan jika temuan ini adalah manusia modern. Indikasinya yaitu badan tegak, kapasitas otak 1300 cc, tinggi sekitar 130 sampai 170 sentimeter, dan berat badan sekitar 80 sampai 90 kilogram. Manusia purba yang hidup sekitar 40 ribu tahun silam itu memiliki tiga mata pencaharian. Mereka sudah mahir mengumpulkan makanan dari alam, meramu bahan-bahan dari flora, dan berburu hewan darat maupun laut.
“Penemuan Homo Wajakensis itu diduga bukan satu-satunya, kemungkinan masih ada jejak kepurbakalaan di sekitar lokasi penambangan marmer di Tulungagung,” kata Dwi Cahyono.
Pria kelahiran Tulungagung itu menilai perlunya penelitian lebih lanjut, serta mengimbau penambang marmer agar berhati-hati karena bisa merusak benda-benda bersejarah. Sebab, manusia purba cenderung memilih tempat hunian di tebing gunung kapur yang dekat daerah rawa. Mereka juga tinggal di gua agar mudah menandai waktu terbitnya matahari. Kecenderungan menetap di pegunungan kapur serta gua juga didapati di penemuan manusia purba di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.
Penemuan Homo Wajakensis kini ditandai dengan sebuah monumen. Letaknya cukup jauh dari perkampungan warga Desa Gamping, Tulungagung. Di dekat monumen itu terdapat 7 gua tempat ditemukannya jejak manusia purba, yaitu Gua Wadjak, Joethol, Karang, Suli, Tritis, Tembus, Tatahan, dan Hoegrot.
Terowongan terdekat dari monumen adalah Gua Joethol atau yang biasa dikenal warga dengan sebutan Gua Tembus. Perlu tenaga ekstra untuk bisa mengunjungi tempat ini. Lokasinya tersembunyi di tengah hutan dengan medan berupa jalan setapak yang dipenuhi pepohonan.
Bagi siapa saja yang hendak berkunjung ke tujuh gua itu akan dipandu oleh Kelompok Sadar Wisata Wajakensis. Mereka bisa menjadi tour guide yang selalu siap sewaktu-waktu asal ada konfirmasi terlebih dahulu.
“Pengunjung biasanya dari kalangan pelajar dan media,” ujar Abdoel Kholik, salah seorang pemandu wisata.
Desa Gamping adalah satu dari 19 kawasan yang rencananya menjadi daerah geopark. Selain di lokasi penemuan Homo Wajakensis, kawasan geopark berada di Gunung Budeg, Kecamatan Kalidawir, Pucanglaban, Besuki, Gondang dan Pagerwojo. Wilayah itu akan dikembangkan sebagai konservasi, edukasi, dan pembangunan wisata berkelanjutan. (Nike Dwi Ardianti, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post