ASAP putih tak berhenti mengepul dari sebuah rumah di Desa Sambi, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri. Entah cuaca panas atau hujan, oven pembakaran terus menyala. Proses pembuatan tungku tanah liat atau anglo ini kurang lebih memakan waktu rata-rata sekitar 4 hari.
“Walaupun sekarang masyarakat sudah beralih ke elpiji, namun minat pada tungku tanah liat masih besar,” kata Kholili Rifa’i, Rabu, 22 November 2023.
Pengrajin anglo yang akrab disapa Caplin itu bahkan kewalahan melayani permintaan pasar. Di era kompor gas, pesanan anglo kian hari semakin meningkat. Sebagian besar masyarakat membeli tungku untuk keperluan hajatan seperti pernikahan, khitanan, maupun tradisi peringatan orang meninggal.
Saat pandemi Covid-19, pesanan tungku tanah liat meningkat tiga kali lipat. Selain untuk selamatan kematian, orang-orang kembali menggunakan anglo akibat menurunnya pendapatan. Sedangkan di hari normal, industri rumahan bernama “Tungku Ngiprit Mawar Merah” ini mampu memproduksi sebanyak 20 tungku perhari.
Bahan baku produksi tungku yang digunakan adalah sari tanah liat, abu sekam, dan air. Ketiga bahan itu kemudian diaduk hingga berbentuk adonan kental. Setelahnya, adonan dimasukkan ke cetakan mirip pot besar.
Proses dilanjutkan dengan melubangi bagian samping dan atas, dijemur di bawah terik matahari, dan terakhir dibakar di oven menggunakan tumpukan sekam. Anglo yang sudah mengeras akibat pembakaran lalu dicat putih untuk mempercantik tampilan tungku.
“Di musim penghujan, produksi bisa lebih panjang karena berkurangnya sinar matahari,” kata Caplin.

Pria dua anak ini menjadi pengrajin anglo sejak tahun 2014. Wawasan mengolah tanah liat dipelajari dari pamannya asal Durenan, Trenggalek. Awalnya, Caplin sempat gagal memproduksi anglo berkualitas. Setelah di percobaan kelima, dia baru berhasil.
Dari situlah muncul keberanian mengembangkan bisnis tungku tanah liat di kawasan Kediri Selatan. Tanah liat sebagai bahan baku utama diambil dari daerah Blitar dan Trenggalek. Sedangkan sekam diperoleh dari Nganjuk dan Ponorogo.
Pada awal bisnis, Caplin menjual tungku dengan cara konvensional, yakni dari rumah ke rumah. Upaya ini ditempuh selama 1 tahun. Namun, pada tahun 2015, dia sukses menjalin kerjasama dengan pemilik kios di pasar. Tungku bisa dipasarkan dengan cara dititipkan, tanpa harus berkeliling.
“Kalau dijual dari pintu ke pintu labanya juga besar, tapi kepotong biaya bensin,” kata pria 43 tahun itu.
Ada dua jenis tungku yang diproduksi Caplin, yakni ukuran 15 cm seharga 60 ribu rupiah dan 30 cm dijual 120 ribu rupiah. Menurutnya, kebanyakan konsumen lebih tertarik dengan tungku berukuran kecil. Area penjualan kini masih di daerah Kediri yakni kawasan Mojo, Pesantren, dan Ringinrejo. Dari proses pengolahan hingga bisa dijual, rata-rata memerlukan waktu 3 minggu.
“Tak jarang ada yang membeli sebagai oleh-oleh untuk kerabatnya di luar kota,” ujarnya.
Caplin percaya, di tengah gempuran elpiji, tungku tanah liat tidak akan kehilangan pasar. Anglo masih akan diminati sepanjang selera masyarakat memandang nilai-nilai tradisi dan kuliner belum bergeser. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post