DALAM pemberitaan media massa, penyandang disabilitas jarang diperhatikan. Kebanyakan media baru tertarik meliput difabel jika mereka memenangi kejuaraan atau meraih prestasi. Padahal, ada sudut pandang lebih penting yang patut disuarakan. Di antaranya, kesejahteraan, pendidikan, dan fasilitas di ruang publik.
Kondisi itu mendorong sekelompok tunanetra Surabaya mendirikan media inklusif bernama Radio Braille Surabaya (RBS). Media yang diinisiasi Tutus Setiawan ini beranggotakan Atung Yunarto, Hanan Abdullah, dan Sugi Hermanto. Mereka merupakan pengajar di Yayasan Pendidikan Anak- anak Buta (YPAB) dan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang fokus di bidang pendidikan, advokasi dan riset.
RBS resmi beroperasi pada 3 November 2022, tepat pada peringatan Hari Disabilitas Internasional. Selama setahun mengudara, berbagai konten mereka didistribusikan melalui platform YouTube.
“Berdirinya RBS membuat kami leluasa menyuarakan hak-hak para difabel melalui program kami sendiri,” ujar Tutus Setiawan, Pemimpin Redaksi Radio Braille Surabaya.
Konten yang dibuat para tunanetra itu menonjolkan kekuatan cerita atau berkisah. Ada tiga konten utama, yaitu reportase, edukasi, dan ekspresi. Dalam pengelolaan media, RBS didampingi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya.
Sebagai upaya memperkuat wawasan jurnalistik, RBS dan AJI Surabaya menggelar diskusi bertajuk “Workshop Penguatan Media Alternatif Berbasis Komunitas”. Acara ini digelar tepat di ulang tahun RBS yang pertama. Berlangsung di aula Radio Suara Surabaya, ada dua narasumber yang dihadirkan, yaitu Kholisul Fatikhin Redaktur Pelaksana Kediripedia.com dan Eddy Prastyo Pemimpin Redaksi Radio Suara Surabaya.
“Acara ini diharapkan memberikan stimulus dan semangat bagi pengelola RBS untuk terus memproduksi karya-karya jurnalistik,” ujar Eben Haezer, Ketua AJI Surabaya.
Diskusi itu dihadiri unsur mahasiswa, jurnalis, dan dosen. Mereka saling bertukar gagasan bagaimana media alternatif mampu mempengaruhi khalayak. Termasuk, bagaimana mengelola media agar bisa berumur panjang.
Di tengah sesi workshop juga dibahas konten audio visual yang telah diproduksi RBS. Misalnya, pemenuhan fasilitas umum bagi penyandang disabilitas di Surabaya. Munculnya konten itu rupanya berhasil mengubah regulasi. Kini, jika difabel hendak naik bus kota, tidak akan ditarik biaya.
Dampak positif dari konten RBS tentu menjadi sebuah capaian bagi pengelolanya. Hal itu selaras dengan misi berdirinya media inklusif sebagai sarana edukasi serta advokasi berkelanjutan.
“Harapannya, di tahun kedua ini konten RBS bisa lebih baik lagi dan mampu bertahan hingga 100 tahun mendatang,” ujar Tutus.
Workshop diakhiri dengan diskusi hak-hak demokrasi bagi kaum disabilitas. Memasuki tahun politik 2024, masih banyak hal yang perlu dikawal, misalnya edukasi hingga fasilitas ketika difabel hendak mencoblos. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post