Masyarakat Kabupaten Kediri, khususnya di Kecamatan Kandat, Wates, Ngadiluwih, dan Keras, sudah jamak mengenal pedati berusia seabad lebih ini dengan sebutan “Mbah Gleyor”. Benda kuno tersebut dianggap sakral. Kisah tentang sejarah dan keangkerannya mengakar sebagai cerita tutur yang awet hingga sekarang.
Cikar Mbah Gleyor bisa kita jumpai di pekarangan Musholla Nurul Huda, Desa Kandat, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri. Tepatnya di Jalan Glinding, sebuah gang kecil sebelah selatan Pasar Kandat. Dipagari oleh pilar-pilar besi, salah satu moda transportasi tradisional itu terbuat dari susunan kayu jati berukuran 7×2 meter. Sebagai kendaraan yang dioperasikan di darat, bentuknya lebih mirip seperti perahu. Meski di bagian roda dan atap sedikit rapuh dimakan zaman, strukturnya tergolong utuh dan masih tegak berdiri.
Konon cikar itu tidak mau dipindah. Sebelum berada di lokasi sekarang, cikar tersebut tergeletak di kebun yang cukup jauh dari pemukiman. Pada tahun 1990an, warga setempat sepakat untuk memindahkannya. Cikar Mbah Gleyor harus direlokasi, karena kerap digunakan sebagai lokasi mencari pesugihan.
Celakanya, itu bukan perkara mudah. Sempat beberapa kali dipindah, namun cikar itu malah kembali ke tempat asalnya. Warga yang dibuat heran akhirnya menempuh jalur spiritual dan mengadakan ritual keagamaan. Seusai ritual, warga memindahkannya ke sebidang tanah milik Ichwanudin, salah seorang pemuka agama.
“Alhamdulillah, cikar itu berhasil dipindah dan tidak kembali lagi,” kata Ichwanudin, di rumahnya, Sabtu, 27 Januari 2017.
Ichwan menerangkan, dari cerita yang pernah ia dengar; dijuluki “Gleyor” karena cikar yang ditarik oleh dua ekor kerbau ini berjalan gontai, mengayun ke kiri dan ke kanan. Warga setempat meyakini benda kuno itu sarat sejarah. Kisah pada cikar Mbah Gleyor, berhubungan pula dengan asal mula penamaan wilayah Kecamatan Kandat.
Dari cerita yang populer di masyarakat, pedati itu merupakan kendaraan yang dinaiki oleh istri Bupati Kediri. Saat itu ia dikejar pasukan Belanda pada masa kolonial. Di tengah perjalanan, kerbau yang menarik cikar sudah tak kuat berjalan, sehingga terpaksa berhenti.
“Kata orang-orang tua di sini, dari kisah itulah nama Kandat berasal. Dari kata Kandeg, yang artinya terhenti,” tambah Ichwan.
Ichwan menuturkan, salah satu kawasan yang terhubung langsung dengan cikar Mbah Gleyor ini adalah Desa Slemanan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Ia mengetahui perihal itu, ketika tahun 2002, Bupati Blitar, Imam Muhadi yang juga warga asli Desa Slemanan, memugar bangunan tempat cikar Mbah Gleyor menjadi lebih layak.
Berdasar pada penuturan Ichwan, kediripedia.com bergegas ke selatan menuju Slemanan. Di sana menemui Redy Priyo Wibowo, Kepala Dusun Slemanan. Pria berumur tiga puluh satu tahun yang akrab disapa Redy itu membenarkan, bahwa cikar Mbah Gleyor dan Slemanan memang saling terkait. Dia mengetahuinya dari berkas lama yang tersimpan di Kantor Desa. Berkas itu diberi judul “Riwayat Berdirinya Desa Slemanan dan Eyang Menak”. Catatan otentik itu ditulis empat puluh tahun lalu oleh Tasmiran, Carik (Sekretaris Desa), tepatnya pada 1978.
“Dalam riwayat itu diterangkan, seusai berhenti di Kandat, istri Bupati (seperti dalam kisah versi Kandat) itu lantas melanjutkan perjalanan ke selatan,” kata Redy.
Jika merujuk pada isi literatur, istri Bupati Kediri ternyata tidak sendiri. Ada dua orang lagi yang menumpang di dalam kereta. Kala itu ia bersama ayahnya, Mbah Menak dan kusir cikar, Mbah Nala. Usai cikar terhenti di Kandat, hanya istri bupati dan Mbah menak yang melanjutkan perjalanan ke selatan. Sementara Mbah Nala memilih menjaga cikar dan menetap di Kandat.
Sampai di wilayah Blitar mereka berniat membuka lahan baru untuk bermukim, sekaligus tempat persembunyian dari kejaran Belanda. Di tengah hutan, mereka bertemu dengan orang dari daerah Sleman, Yogyakarta. Dari pertemuan Istri bupati dan Mbah Menak dengan orang Sleman itulah, maka wilayah itu diberi nama Desa Slemanan.
“Dari runtutan versi cerita itu, cikar Mbah Gleyor punya arti penting bagi kami warga di selatan Kediri dalam menjalani kehidupan sehari-hari,” kata Redy. (Kholisul Fatikhin)