SITUS arkeologi yang nyaris tak bisa dipisahkan dengan Kerajaan Kediri, salah satunya yaitu Gua Selomangleng. Menurut catatan sejarah, gua yang terbentuk dari batu andesit raksasa ini pernah menjadi lokasi pertapaan Dewi Kilisuci, putri dari Raja Airlangga. Akan tetapi, penelitian terbaru menyebutkan, gua di kaki Gunung Klotok itu ternyata juga digunakan sebagai makam terbuka atau open burial.
Novi Bahrul Munib, sejarawan Kediri menjelaskan, fungsi Gua Selomangleng mirip dengan Makam Trunyan di Bali. Di kompek tersebut, jenazah tidak dikuburkan, melainkan hanya diletakkan di tempat terbuka, dibiarkan membusuk, hingga menyatu dengan tanah.
“Narasi bahwa Gua Selomangleng dulunya adalah makam terbuka diambil dari pembacaan relief bersama para arkeolog,” kata Novi, Selasa, 19 Oktober 2021.
Ketua Komunitas Pelestari Sejarah Kadhiri itu menambahkan, petunjuk yang paling menguatkan yaitu panil relief di dinding utara gua. Ukiran tiga dimensi itu menampilkan visualisasi tengkorak serta mayat dengan usus terburai.
Menurut Novi, keberadaan makam terbuka Gua Selomangleng masih menjadi bagian dari ritual bertapa di era kerajaan. Upacara keagamaan tersebut dikenal dengan Asubha. Ritual ini dilakukan dengan mewajibkan petapa duduk di dekat mayat.
“Para petapa harus mampu menghilangkan jijik ketika mencium dan melihat mayat membusuk,” ujar Sarjana Fakultas Sejarah Universitas Negeri Malang itu.
Upacara tersebut dilakukan sebagai pengingat bahwa suatu saat mereka akan mengalami kondisi seperti mayat, mengeluarkan bau busuk hingga menjadi tengkorak. Sedangkan dari sisi spiritual, bertujuan untuk melepaskan diri dari nafsu dunia.
Kisah tentang ritual keagaaman Kediri di masa lalu itu akan terus ditelaah hingga mendapat gambaran lengkap. Salah satunya, mengidentifikasi di lokasi sebelah mana makam terbuka itu berada.
Novi menerangkan, Gua Selomangleng yang dibuat pada zaman Raja Airlangga era Kerajaan Kahuripan ini masih menyimpan berbagai narasi sejarah. Sebab, gua dengan 4 ruangan ini telah melalui berbagai kontinuitas budaya dan renovasi. Bangunan suci yang didirikan pada abad 10 M terus digunakan sebagai tempat bertapa para kerabat raja-raja penguasa tanah Jawa yang silih berganti.
Penamaan Selomangleng berasal dari dua kata yakni Selo dan Mangleng dengan kata dasar Leng. Dalam Bahasa Jawa, Selo berarti Batu, Mang merupakan kata imbuhan, sedangkan Leng artinya lubang. Maka, Gua Selomangleng memiliki arti batu yang dilubangi.
“Selain relief yang menceritakan sisi spiritual, masih banyak kisah-kisah di dinding Gua Selomangleng yang perlu diungkap,” ujar Novi.
Termasuk, relief berbentuk seperti peta kawasan yang kemungkinan besar adalah wilayah Kerajaan Kediri. Melalui pembacaan komprehensif relief Gua Selomangleng, harapannya dapat memberikan gambaran tentang peradaban Kediri di masa lalu yang selama ini masih diselimuti misteri. (Verlian Dinanta, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post