USIANYA kini sudah menginjak 64 tahun, tapi semangat Kadir untuk terus berkarya tak pernah surut. Setiap hari, dia berupaya menciptakan inovasi berbagai karya seni dari tanah liat. Selama hampir setengah abad menekuni dunia seni kriya ini, entah ratusan atau ribuan tembikar yang lahir dari tangannya.
Keterampilan menyulap gumpalan tanah lempung menjadi benda-benda artistik ini dipelajarinya secara otodidak. Aktivitas Kadir sebagai produsen tembikar berada di rumahnya di Desa Kedungsari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kawasan di lereng Gunung Wilis itu juga populer dengan sebutan Kampung Gerabah.
Sama seperti puluhan warga lainnya, awalnya Kadir hanya memproduksi barang gerabah seperti cowek, kendi, maupun kuwali dari bahan tanah lempung. Hingga pada suatu titik, dia merasa bahwa gumpalan tanah lempung tidak boleh hanya berhenti sebatas alat dapur. Akan tetapi, bisa dirupakan menjadi benda yang mempunyai unsur keindahan seperti celengan, vas bunga, asbak, guci, dan patung.
“Tembikar berbeda dengan gerabah. Pembuatan tembikar lebih rumit, karena harus melalui berbagai proses hingga terlihat mengkilap seperti keramik,” kata Kadir, Rabu, 21 Oktober 2021.
Selain itu, benda yang disebut gerabah lebih cenderung merujuk ke peralatan dapur. Sedangkan tembikar yang biasa juga disebut terakota biasanya difungsikan sebagai aksesoris ruangan karena mengedepankan unsur seni dan keindahan.
Di periode awal mempelajari cara pembuatan tembikar, Kadir sempat kesulitan merumuskan komposisi terbaik. Misalnya, dalam hal mencari bahan tanah liat yang benar-benar cocok. Setelah melakukan ribuan uji coba atau trial and error, akhirnya formula yang tepat untuk pembuatan terakota berkualitas berhasil ditemukan.
“Demi menemukan tanah liat terbaik, hampir setiap hari saya harus naik turun gunung sejauh 17 kilometer,” kenangnya.
Perjalanan lelaki empat anak ini menyusuri bukit-bukit di Gunung Wilis ditempuh menggunakan sepeda pancal. Saat itu, dia bertekad mengukir sejarah sebagai pionir produsen tembikar atau terakota pertama di Desa Kedungsari.

Pada akhirnya, adagium bahwa proses memang tak mengkhianati hasil, ternyata benar. Keterampilan yang dipelajari bertahun-tahun itu mengantarkan Kadir mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dia diberikan kesempatan menempuh perkuliahan di Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya.
Menurutnya, momen belajar di perguruan tinggi bukan semata-mata mengejar gelar, akan tetapi semakin mendalami dunia seni kriya yang berhubungan dengan pengolahan tanah liat.
Skill yang kian matang membuat karya-karya Kadir banyak diminati. Bukan hanya di Kediri, tapi juga dari kota-kota besar di Pulau Jawa misalnya Jakarta dan Surabaya, maupun daerah luar pulau seperti Kalimantan dan Papua.
“Pemasaran kebanyakan dilakukan secara door to door, salah satunya dititipkan ke toko-toko,” ujar Kadir.
Berbagai model terakota itu dipatok dengan harga beragam. Mulai dari 25 ribu sampai 1.5 juta, tergantung ukuran dan kerumitan pembuatan. Misalnya, yang paling mahal yaitu patung rajawali, prosesnya paling sulit karena banyak detail kontur yang perlu diperhatikan.
Dalam proses pembuatan, Kadir dibantu delapan karyawan. Sejauh ini, strategi pemasaran masih tradisional, di antaranya menunggu pesanan dan menitipkan ke toko. Namun, dalam waktu dekat dia akan merambah dunia digital.
Penghasilan Kadir rata-rata mencapai 3 sampai 7 juta perbulan. Berkat kerja kerasnya menjadi seniman terakota ini, dia bisa melaksanakan ibadah haji dan membangun empat rumah bagi anak-anaknya.
“Saya bersyukur, langkah saya membuat tembikar kini mulai diikuti warga sekitar,” kata Kadir.
Dia berharap, warga Kedungsari terus melahirkan inovasi dari kerajinan tanah liat. Selain mempertahankan budaya warisan leluhur, juga sebagai upaya membuka peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar. (Nurlailia Herman, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post