SELAMA lebih dari 10 tahun menetap di Indonesia, Claire Holt banyak mengungkap estetika Indonesia melalui dunia arkeologi dan kesenian. Mulai dari gambar-gambar cadas di goa-goa pra sejarah, peradaban Hindu-Buddha, maupun seni rupa modern. Pada 1930 hingga 1940an, dia berkelana dari Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Nias. Dari perjalanan itu sedikitnya 9.000 lembar foto, 3.500 klise negatif, dan beberapa rol film, berhasil dikumpulkan.
Claire kemudian menulis pengamatan dan tinjauan di Indonesia menjadi buku berjudul Art in Indonesia: Continuities and Changes pada tahun 1967. Buku itu tidak hanya membahas seni tari, tapi juga mengkaji secara komprehensif seni rupa dari berbagai era. Lewat karya tersebut, wanita yang pernah bekerja sebagai analis Central Inteliigence Agency (CIA) bisa dibilang adalah saksi mata pertumbuhan seni rupa modern di Indonesia.
Diskusi seputar Claire Holt ini akan dibahas lebih mendalam dalam Borobudur Writers dan Cultural Festival (BWCF) tahun 2021. Acara yang rencananya digelar pada 18-21 November 2021 ini mengangkat tema “Membaca Ulang Claire Holt, Estetika Nusantara: Kontinuitas dan Perubahannya”.
“Buku Claire Holt bisa disebut salah satu buku yang berusaha memahami sejarah estetika di Nusantara,” kata Seno Joko Suyono, salah seorang konseptor BWCF, Senin 1 November 2021.
Karya milik Claire banyak berbicara tentang kontinuitas estetika Indonesia dari akar-akarnya. Buku itulah yang membuka minat peneliti mancanegara memperhatikan seni modern Indonesia. Sebelum menulis buku ini, Claire Holt telah menulis buku tentang Indonesia, antara lain: Dance Quest in Celebes (1939) dan manuskrip lain seputar tari.
Seperti pelaksanaan BWCF tahun lalu, penyelenggaraan tahun ini digelar online. Menggelar festival secara daring, bukan berarti mengurangi esensi berbagai acara. Sejumlah agenda yang berkaitan dengan tema itu di antaranya Pidato Kebudayaan, Launching Buku, Award Sang Hyang Kamahayanikan, Simposium (Webinar)Utama, Ceramah Umum, Bedah Relief, Workshop Meditasi dan Yoga sampai Temu Penerbit.
Acara pembukaan BWCF ke 10 ini diisi dengan pidato budaya Jean-Pascal Elbaz, mantan Direktur Pusat Kebudayaan Perancis Yogyakarta dan Alliance Francaise of Madras. Dari diskusi akan dibahas tentang persahabatan Claire Holt dengan arkeolog Belanda W.F. Stutterheim dan epigraf Perancis Louis-Charles Damais.
“Pidato Pascal akan mendedahkan bagaimana ketiga ahli ini yang pada tahun 1940-an saling berkawan karib dan sama-sama mencintai dunia arkeologi dan kebudayaan Indonesia,” ujar Seno.
Dari pidato Pascal, diharapkan akan didapat gambaran utuh siapa Claire Holt dan bagaimana ia melakukan penelitian di Indonesia. Pada pembukaan itu juga akan dirilis dua buku tentang dunia image visual Indonesia di masa kolonial yang ditangkap oleh khazanah print, litografi, peta kuno, dan fotografi.
Launching itu akan dihadiri dua ahli. Pertama, Dr. SimonC. Kemper dari Universitas Leiden penulis buku Nusantara in Print: How Indonesian Island, Seas, People Were Depicted On Paper Between Sixteenth and Twentienth Century. Kedua, Scott Merrilees dari Australia penulis buku baru yang terbit tahun 2021, Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945. Kedua pakar ini akan dimoderatori oleh sejarawan Dr. Bondan Kanumoyoso.
Selanjutnya akan ada dua Ceramah Umum tentang Claire Holt. Yang satu melihat Claire Holt dan sumbangannya gannya bagi penelitian tari di Indonesia dan yang kedua adalah melihat pemikiran Claire Holt mengenai seni rupa modern Indonesia. Ceramah Umum yang pertama akan disampaikan oleh pengamat tari Helly Minarti Ph.D. dan Ceramah Umum kedua akan dipaparkan oleh sejarawan seni, kandidat doktor sejarah seni dari Leiden, Aminuddin TH. Siregar.
Selama 4 hari kami akan menggelar serangkaian simposium online yang tema-temanya diinduksikan dari bab-bab yang diuraikan Claire Holt dalam bukunya: Art in Indonesia, Continuities and Change. Dari mulai sesi penemuan-penemuan terbaru gambar gambar goa cadas di Nusantara, gejala cross-over dalam seni pertunjukan Indonesia sampai membaca kembali seni rupa modern Indonesia. Puluhan para pakar – dari mulai para arkeolog seperti Dr. Harry Widianto, Prof. Dr. R. Cecep Eka Permana, Prof .Dr. Agus Aris Munandar, para pengamat seni pertunjukan dan seniman semisal Endo Suanda, Dr. Nungki Kusumastuti, Wayan Gde Yudane, Dr. Marusya Nainggolan sampai pengamat seni rupa seperti Dr. Mikke Susanto, Antariksa,Asikin Hasan, Hendro Wiyanto dan lain sebagainya akan terlibat.
Selain itu, dalam festival online ini akan digelar serangkaian diskusi tentang Borobudur dan kajian-kajian arkeologi terbaru. Borobudur adalah subyek yang tak habis-habisnya diteliti. Akan tetapi, kali ini akan disajikan dari sudut pandang sains, filologi, sampai Buddhalogi. Dr. Hudaya Kandahjaya, ahli Buddhis yang bertempat tinggal di San Fransisco akan membedah naskah Jawa kuno Sang Hyang Kamahayanikan dengan perbandingan naskah-naskah Sanskrit. Dipandu Romo Gregorius Subanar SJ, Dr. Hudaya akan mengetengahkan apakah inti isi naskah Sang Hyang Kamahayanikan. Naskah itu bisa menjelaskan bagaimana bentuk ritual-ritual yang dilakukan di Borobudur dulu.
Bagi yang hendak mengikuti seluruh rangkaian BWCF 2021, peserta bisa mendaftar lewat link:bit.ly/Webinar_The10thBWCF2021. Selain dapat mengikuti berbagai diskusi, para peserta akan mendapat makalah yang berisi kumpulan artikel para pembicara secara gratis. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post