PEKIKAN kalimat tauhid menggema ketika jenazah KH. Muhammad Douglas Toha Yahya atau Gus Lik digotong menuju pusara. Menembus ribuan pelayat, dua orang santri berjalan di depan keranda sambil memanggul kembar mayang. Hiasan rangkaian janur, bunga, dan potongan pelepah pisang itu turut mengiringi kepergian Gus Lik ke peristirahatan terakhir. Dalam adat Jawa, kembar mayang menjadi simbol bahwa orang yang meninggal belum pernah menikah.
Wafatnya pengasuh Pondok Pesantren Assa’idiyah Kota Kediri itu menyisakan duka bagi santri maupun ribuan jemaah. Gus Lik pulang ke pangkuan sang Khalik pada Sabtu, 21 September 2024 sekitar pukul 22.40 WIB usai beberapa hari dirawat di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Kota Kediri.
“Sebagai pecinta dan santri, tentu kepergian Gus Lik memberikan kesedihan mendalam,” kata Iwhan Tri Cahyono, Kabid Humas PT Gudang Garam Tbk., Minggu, 22 September 2024.
Dia menambahkan, Gus Lik tidak pernah membedakan latar belakang sosial, agama, suku maupun kelompok. Kehadirannya mampu memberikan kenyamanan bagi semua orang. Sama seperti ribuan jamaah lain, Iwhan turut kehilangan ulama yang bersahaja itu.
Tutup usia di umur 58 tahun, Gus Lik merupakan putra dari pasangan KH Said dan Nyai Maemunah Banjarmlati yang memiliki kekerabatan dengan pesantren-pesantren besar di Kediri. Dalam berbagai kesempatan, sosoknya dikenal sebagai ulama sederhana. Sehari-hari, penampilan Gus Lik jauh dari kesan glamor, baik dalam kehidupan pribadi maupun ketika memimpin pengajian. Bahkan setiap bepergian, Gus Lik lebih memilih memakai kendaraan roda dua.
Kisah kesederhanaan Gus Lik juga tercermin dari sikapnya yang selalu menghindari kemewahan. Misalnya, ketika sejumlah santri hendak membelikan mobil keluaran terbaru. Kendaraan itu harapannya bisa digunakan untuk mengantarnya ke lokasi pengajian. Namun, Gus Lik menolak, dengan alasan mobil tuanya masih bisa dipakai.
“Saya gagal memberikannya mobil baru, beliau itu orang zuhud, tidak terlalu memikirkan harta dunia,” kata salah seorang santri Gus Lik yang bekerja sebagai seorang pengusaha.
Nama Gus Lik mulai dikenal luas oleh masyarakat Kediri melalui Pengajian Langgar Kulon yang rutin digelar pada Pengajian Malam Rabu (PMR) dan Pengajian Malam Jumat (PMJ). Berawal dari pengajian rutin di kalangan para santri Assa’diyah, pengikut Gus Lik semakin bertambah hingga pengajian harus dilakukan di luar pesantren.
Dalam perkembanganya, santri maupun muhibbin Gus Lik tergabung dalam Jamaah Langgar Kulon. Mereka adalah orang-orang yang siap siaga menata kesiapan acara. Mulai dari bertugas sebagai tim kesehatan, jaga parkir, keamanan, kebersihan, dan perlengkapan. Untuk menggelar acara rutin PMR dan PMJ maupun pengajian di luar pondok. Setiap kali acara berlangsung, ribuan jemaah tak pernah surut menghadiri majelis.
Materi dakwahnya selalu membawakan tema yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Petuah Gus Lik selalu dirindukan karena membuat jemaah merasa nyaman, menenangkan jiwa, dan terkesan tak ada jarak. Selain itu, tak pernah muncul tendensi politik ketika pengajian berlangsung.
“Selain dakwah, Gus Lik juga aktif bersosial di lingkungan sekitar,” kata Irfan Sugiarto, salah satu Jemaah Langgar Kulon.
Irfan mengatakan, Gus Lik adalah guru, orang tua, dan panutan. Dia juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat. Di sela-sela aktivitasnya yang padat, dia masih menyempatkan berinteraksi dengan warga sekitar.
Kepergian kyai kharismatik itu menyisakan kesedihan bagi masyarakat Kediri, maupun jamaahnya yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka seolah masih tak percaya figur ulama nyentrik dan merakyat itu kini sudah tiada. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post