DI atas batu nisan bertuliskan aksara Tionghoa, seorang warga menjemur pakaian, bantal, dan boneka. Di sebelahnya, gundukan seperti pelataran taman berjejer sepanjang mata memandang. Saban hari, anak-anak lah yang meramaikan kesunyian kuburan Cina itu.
Hidup berdampingan dengan orang mati sudah dijalani masyarakat lingkungan Boro, Kelurahan Pojok, Kota Kediri lebih dari 10 tahun. Saat ini, sekitar 40 rumah berdiri di kawasan pemakaman yang akrab disebut Bong Guwo. Bong adalah istilah Cina untuk menyebut kuburan. Sedangkan Guwo merujuk ke Gua Selomangleng di dekatnya. Hunian warga terletak di antara ratusan pusara Tionghoa.
“Awalnya ngeri, tapi sekarang sudah terbiasa,” kata Muhadi, salah seorang warga, Kamis, 8 Februari 2024.
Lelaki 74 tahun itu tinggal di Bong Guwo sejak 2013. Dia mendirikan rumah di tanah seluas 4×6 meter. Di dalam terdapat ruang tamu, 2 kamar tidur, dan 1 kamar mandi.
Muhadi tidak mengetahui siapa yang memelopori permukiman di Bong Guwo. Ketika dia datang sebelas tahun lalu, sudah banyak rumah berdiri di sela-sela makam.
“Saya nekat membangun rumah di sini karena harga tanah di Kota Kediri mahal,” ujar Muhadi.
Senada dengan Muhadi, tidak terjangkaunya harga tanah juga menjadi alasan Agus Harianto menetap di kawasan Bukit Maskumambang itu. Tepat di samping pagar rumahnya berdiri menjulang batu nisan setinggi 1,5 meter. Sehari-hari, Agus dan keluarganya sibuk membuat tatakan kue tart di teras yang berada di antara nisan-nisan kusam.
Dinding kamar lelaki 64 tahun ini menempel pada beton makam. Namun Agus sudah tidak ingat lagi bahwa dia tidur di atas makam. Selama 13 tahun tinggal di Bong Guwo, sudah tak terhitung berapa kali dia mengalami peristiwa mistis.
“Penampakkan gaib sering muncul di siang hari juga,” kata Agus sedikit tertawa.
Pintu kamar menutup sendiri, suara anak-anak tertawa, hingga penampakan dua anak di dalam rumah, sudah tak terhitung jumlahnya. Seluruh warga di Bong Guwo pasti pernah mengalami hal itu.
“Kita lebih takut digusur dari pada takut sama hantu,” kata Agus.
Masyarakat menyadari, tanah itu bukan milik mereka. Agus, Muhadi, dan tetangganya pasrah jika rumah mereka digusur sewaktu-waktu.
Thomas Kurniadi, pengurus Perkumpulan Rukun Sinom Dana Pengrukti Kediri, tidak mempermasalahkan berdirinya rumah warga di Bong Guwo. Menurutnya, pemakaman itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
“Bong Guwo sudah tidak digunakan untuk mengubur jenazah, kita beralih ke Bong Klotok sekitar 40 tahun lalu,” kata Thomas. Bong Klotok berada satu kilometer di selatan Bong Guwo.
Sebagian pusara di Bong Guwo masih dikunjungi pihak keluarga menjelang Hari Raya Imlek. Tradisi ini biasa disebut Ceng Beng. Kebanyakan peziarah datang dari luar kota. Kehadiran mereka relatif nyaman karena warga yang menghuni kuburan itu turut membantu membersihkan kuburan dan memberi petunjuk letak makam. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post