PISAU pemotong bergerak naik turun seperti jarum mesin jahit. Seorang pekerja menjepitkan empat lonjor adonan sepanjang 1 meter pada tatakan mesin. Kurang dari semenit, tepung tapioka yang telah dipadatkan itu teriris menjadi ratusan keping.
Produksi kerupuk mentah atau krecek milik Sujud Sugianto ini per harinya mencapai 4 kwintal. Berdiri sejak 1974, industri rumahan itu berada di Dusun Pojok, Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Kawasan di timur Bandara International Kediri ini sudah lama dikenal sebagai Sentra Industri Kerupuk.
Hampir seluruh warga Dusun Pojok dulunya menggantungkan hidup pada sektor industri pembuatan krecek. Entah itu sebagai produsen maupun buruh lepas. Namun, jumlah warga yang menekuni produksi kerupuk kini berkurang. Dari mulanya 100 pabrik lebih, kini hanya 10 yang masih bertahan.
“Dulu masyarakat berbondong-bondong mendirikan pabrik karena harga tepung tapioka masih murah,” kata Sujud, Selasa, 13 Februari 2024.
Lelaki 81 tahun itu menerangkan, industri kerupuk mentah sudah berdiri sejak tahun 1960 an. Selain murah, tapioka mudah didapat dari penjual tepung yang berdagang di depan gang Dusun Pojok.
Seiring waktu, para pedagang tapioka itu berpindah ke pertokoan. Kondisi tersebut dibarengi melambungnya harga tepung. Alhasil, satu per satu pabrik tutup, bahkan usaha milik Mbah Sar, sang perintis produksi krecek di Dusun Pojok ikut gulung tikar.
Permukiman yang mulai dipadati penduduk juga menjadi masalah. Tanah lapang kian jarang. Produsen yang tidak memiliki lahan kesulitan menjemur kerupuk mentah.
“Terpaan pandemi covid-19 semakin membuat warga berhenti bekerja membuat krecek,” ujarnya.
Sujud merasa beruntung, usahanya yang sudah berdiri separuh abad itu terselamatkan. Sebelum covid-19 meruyak, pengelolaan bisnis dialihkan ke anaknya. Meskipun di tengah pandemi, produksi tetap berjalan dengan sistem penjualan online. Lewat metode ini, Sujud masih bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar.
Pemanfaatan digital untuk menghindari pailit juga dilakukan pemilik bisnis krecek lainnya di Dusun Pojok yaitu Ruslan Abdul Ghoni. Dia dibantu Suci, anaknya, ketika menjual produk lewat internet.
“Saat pandemi kita sudah ada pelanggan tetap, jadi permintaannya masih cukup banyak,” kata Ruslan.
Lelaki 67 tahun itu sudah memiliki pelanggan dari berbagai kota. Kebanyakan dari Tulungagung, Nganjuk, Jombang, Madiun, Magelang, hingga Jakarta. Kini, sebulan sekali konsumen datang membeli krecek bermerk Marwah dengan harga 15 ribu rupiah per kilogramnya.
Aktivitas produksi berada tepat di belakang rumah Ruslan. Di dalam gedung seluas 15 meter itu berisikan mesin pencetak, mesin potong, dan oven. Dia mempekerjakan 15 orang dengan volume produksi 4 kwintal kerupuk mentah per hari.
Krecek buatan Ruslan terdiri dari berbagai jenis warna mulai dari putih, merah, dan hijau. Warna-warna itu dihasilkan dari pewarna makanan. Selama hampir 50 tahun menekuni usaha, dia tidak pernah menggunakan pewarna tekstil.
“Kita sudah lolos uji kelayakan pangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” ujarnya.
Ruslan, Sujud, dan para produsen lainnya kini sudah mengantongi sertifikat halal. Sistem pengolahan juga dibuat lebih higienis dengan bahan tepung tapioka berkualitas. Selain sebagai bentuk pengembangan bisnis, langkah ini dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan Sentra Industri Krupuk. Hal yang tak kalah penting yaitu membuka peluang lapangan kerja bagi warga Dusun Pojok. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post