ROSMINI memicingkan mata saat memukulkan martil pada sebongkah batu. Dia tampak berhati-hati, khawatir kejadian yang menimpanya setahun lalu terulang. Saat itu, ketika tengah menghantam batu, serpihannya melesat ke mata hingga berdarah.
“Kadang pukulan palu meleset lalu mengenai jemari tangan,” kata ibu tiga anak itu, Selasa, 6 Februari 2024.
Meski kerap mengalami kecelakaan, pekerjaan sebagai pemecah batu tetap dijalani karena tidak ada sumber penghasilan lain. Warga Desa Titik, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri ini sudah melakoni pekerjaan tersebut selama 26 tahun. Kulit telapak tangannya menebal karena kapalan. Di jari telunjuknya juga masih ada bekas luka akibat terpukul martil.
Sehari-hari, perempuan 52 tahun itu memulai aktivitasnya dengan memungut batu seukuran bola kasti di sungai. Dari gubuk terpal tempatnya bekerja menuju sungai, jaraknya 500 meter. Jalan yang dilalui juga cukup curam. Sekali angkut, dia hanya mampu membawa 24 buah batu.
“Kalau musim hujan seperti sekarang saya takut hanyut, jadi suami yang ambil batu,” kata Rosmini.
Batu dari sungai itu kemudian dipukul-pukul hingga terpecah menjadi seukuran tutup botol. Bahan bangunan ini populer disebut batu belah atau batu split. Biasanya, material tersebut digunakan untuk pengecoran pondasi gedung, lantai, hingga hiasan taman.
Dia menjual batu split dengan takaran cikrak bambu. Satu keranjangnya dihargai 6 ribu rupiah. Namun, penghasilan Rosmini beberapa tahun terakhir berkurang. Dalam seminggu, rata-rata dia hanya mampu menjual 10 cikrak.
“Penghasilan tak menentu, ini sudah dua bulan belum laku,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan batu.
Rosmini hanya satu di antara puluhan pemecah batu di Desa Titik. Jumlah penduduk di kawasan yang terletak di lereng Gunung Wilis ini totalnya 2215 jiwa. Dari angka itu 2% di antaranya bekerja sebagai pemecah batu.
Pada era sebelum tahun 2000, hampir seluruh warga Desa Titik menjadi pemecah batu. Akibat berdirinya pabrik-pabrik dengan mesin pemecah batu di berbagai kawasan di Kediri, banyak masyarakat yang beralih pekerjaan.
“Para pemecah batu di desa ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka,” kata Ahmad Munir, Kepala Desa Titik.
Dia menjelaskan, maraknya para pemecah batu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan Desa Titik. Masyarakat menyebut pekerjaan ini dengan sebutan thitik watu, yang artinya memecah batu.
Menurut Munir, permintaan batu split dari desanya memang tak sebanyak dulu. Adapun konsumen yang masih meminatinya, karena menganggap produk konvensional ini memiliki ukuran presisi. Selain itu, lebih kuat karena para pekerja hanya memilih batu-batu yang padat.
Selain Desa Titik, para pemecah batu hingga kini masih eksis di sejumlah desa di Kediri. Antara lain, Desa Surat dan Kraton di Kecamatan Mojo, serta di Kelurahan Pojok, Kota Kediri. Sama seperti pekerja di Desa Titik, mereka juga rawan mengalami kecelakaan kerja, sementara penghasilannya tak menentu. (Moh. Yusro Safi’udin)
Discussion about this post