KONTESTASI pada Pemilihan Umum (Pemilu) kerap diwarnai pertarungan informasi demi mempengaruhi pemilih dengan cara curang. Di masa menjelang hingga dibukanya periode kampanye, media sosial akan dibanjiri beragam kabar palsu. Mulai dari hoaks, mis-disinformasi, dan kampanye hitam, digencarkan menjatuhkan lawan politik.
Sebaran informasi sesat mulai masif pada Pemilu 2014, laga pertama pertarungan Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden. Sedangkan selama Pilpres 2019, Kominfo menemukan 3.365 hoaks. Melihat jalannya dua pemilu sebelumnya, patut diwaspadai hoaks bakal semakin merebak di Pemilu 2024.
Prediksi menguatnya gencaran hoaks pada Pemilu 2024 ini menjadi diskusi utama acara Pelatihan Mis-disinformasi untuk jurnalis di Yogyakarta pada Sabtu dan Minggu, 20-21 Mei 2023. Kegiatan yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dipandu trainer cek fakta dari AJI Indonesia dan Google News Initiative. Pelatihan ini diikuti 25 jurnalis dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Kediri, Bojonegoro, Surabaya, Malang, Banyuwangi, dan Balikpapan.
“Di Pemilu 2024 masa kampanye lebih pendek, ini jadi kesempatan untuk menggencarkan hoaks, karena pengawas pemilu belum bisa mengawasi dan menindak,” kata Nurika Manan, Pengurus AJI Indonesia yang menjadi narasumber acara.
Setahun menjelang pesta demokrasi 2024, kampanye hitam termasuk jenis pelanggaran yang patut dicermati. Selain menyesatkan masyarakat, kampanye hitam akan semakin menguatkan polarisasi, menumpulkan demokrasi, bahkan memantik perpecahan antarkelompok.
Lewat acara ini, jurnalis yang menjadi peserta bisa mengimplementasikan pengetahuan tentang mis-disinformasi pemilu di media masing-masing. Di antaranya, membuat konten-konten edukatif tentang pemilu atau melakukan cek fakta jika ada hoaks yang beredar.
“Pemilu bisa berlangsung demokratis ketika pemilih memiliki wawasan, sekaligus memahami hak dan tanggung jawabnya,” ujar Inggried Dwi Wedhaswary, salah seorang trainer pelatihan ini.
Dia menjelaskan bahwa pola hoaks dan mis-disinformasi seputar pemilu selalu terulang. Sehingga, dibutuhkan informasi yang mengedukasi masyarakat, salah satunya konten prebunking. Teknik ini bisa mencegah sebelum disinformasi atau hoaks muncul. Misalnya, memberikan wawasan cara mengenali hoaks atau bagaimana pola kebohongan itu beredar.
Trainer lainnya, Zainudin Muda mengatakan media massa dan jurnalis mempunyai peran penting dalam proses elektoral. Media bisa menjadi clearing house dengan menyediakan informasi kredibel dan menjamin keberagaman pendapat atau opini.
“Media dapat mendorong partisipasi publik yang efektif, memberikan ruang debat publik yang sehat dan memastikan isu kepentingan publik menjadi pusat dalam kampanye,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post