BEBERAPA bulan terakhir, dunia dikejutkan dengan gelombang panas yang melanda Asia. Negara-negara seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos telah melaporkan kejadian suhu panas lebih dari 40°C. Krisis iklim diduga menjadi penyebab perubahan suhu udara yang ekstrem karena penebalan gas emisi rumah kaca.
Menurut kajian UNICEF, gelombang panas menimbulkan efek negatif khususnya pada anak-anak. Sebab, ketahanan suhu tubuh mereka belum sematang orang dewasa. Makin sering anak terpapar panas, makin besar pula risiko mengalami masalah kesehatan, termasuk gangguan pernapasan kronis, asma, dan penyakit kardiovaskuler.
Lembaga Anak dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), UNICEF dan Aliansi Jurnalis Independen menanggapi hal tersebut dengan mengadakan “Workshop Peliputan Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Anak” pada 21-22 Mei 2023. Pelatihan yang diadakan di Tamarin Hotel, Jakarta ini diikuti 20 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulawesi selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Bali.
“Anak-anak rentan menjadi korban dari krisis iklim baik secara langsung maupun tidak langsung,” kata Thierry Delvigne-Jean Perwakilan UNICEF di Indonesia.
Melalui pelatihan in, Thierry berharap media menyampaikan pesan akan pentingnya mewaspadai perubahan iklim. Di antaranya, mengedukasi anak dan remaja, mitigasi bencana, dan mendorong kebijakan pemerintah.
Thierry menyebut bahwa isu perubahan iklim kini menjadi prioritas lembaga anak dunia. Bersama mitra-mitranya, UNICEF mendorong seluruh masyarakat agar dapat bekerjasama dalam melindungi anak-anak di dunia dari dampak perubahan iklim.
“Jurnalis bagi kami adalah mitra terkuat dalam memberikan pengaruh pada opini publik dan kebijakan pemerintah,” ujar pria yang telah bertugas di Indonesia selama 4 tahun tersebut.
Dalam pelatihan ini, para jurnalis akan dibekali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kriris iklim dan anak. Antara lain, klimatologi, dampak perubahan iklim terhadap anak, etika peliputan anak, kebijakan dan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup, dan teknik peliputan isu lingkungan.
Pemateri workshop berasal dari 4 elemen, yakni Pemerintah, UNICEF, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Jurnalis. Dari pemerintah hadir Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto dan Plt Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, Agus Rusli. Sedangkan UNICEF mengutus Ali Ramly (Spesialis Perlindungan Anak), Lia Sofiyani (Spesialis Kedaruratan), dan Daffa Praditya Devano, Mitra Muda UNICEF.
Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Ayip Sayid, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) turut serta meyampaikan advokasi akibat krisis iklim. Sedangkan narasumber lainnya yaitu Ahmad Nurhasim (Tempo) dan Margareth S Aritonang (Gecko Project).
Salah satu pemateri dari BMKG, Siswanto mengatakan bahwa perubahan iklim tidak dapat dianggap remeh. Akan banyak terjadi bencana alam yang dapat disebabkan dari naiknya suhu udara. Abrasi, pasang air laut, cuaca ekstrem, banjir rob, dan kehilangan sumber mata air dapat terjadi sewaktu-waktu.
Pria asal Ngawi itu menambahkan jika emisi gas karbon, asap industri, hilangnya hutan, penggunaan kendaraan berlebihan menjadi sebab utama kenaikan suhu. Udara panas di bumi yang seharusnya keluar ke angkasa tertahan kubah gas rumah kaca lalu kembali ke bumi.
“Kami butuh peran serta media agar dapat menyampaikan dampak besar dari krisis iklim ke masyarakat dan pemerintah,” ujar Siswanto.
BMKG berkomitmen terus berusaha mencegah kenaikan suhu global di Indonesia secara drastis. Walaupun Indonesia belum masuk zona gelombang panas, namun perubahan suhu sudah dapat dirasakan di berbagai daerah. Beberapa indikasinya yaitu air laut pasang hingga kekeringan. Di sisi lain, infrastruktur pencegahan belum siap menghadapi bencana perubahan iklim.
Indikasi bencana seperti yang disampaikan BMKG salah satunya terjadi di pesisir laut utara di Jawa Tengah. Iwan Arifianto, jurnalis asal Semarang ini sering melihat kejadian banjir rob yang hingga kini belum teratasi. Banyak rumah-rumah tenggelam dan jalanan tak dapat dilewati akibat air meluap. Akhirnya, ratusan orang terpaksa mengungsi, termasuk anak-anak.
“Isu lingkungan dan perubahan iklim masih jarang dibahas dan harus menjadi prioritas pemerintah,” kata Iwan. Tak cukup mendapatkan materi, para peserta akan mendapatkan pembiayaan liputan. AJI dan UNICEF akan memilih 10 proposal terbaik untuk meliput dampak perubahan iklim pada anak. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post