RADEN Mas Cebolang, pria yang piawai menabuh rebana itu menyusuri hutan di timur Candi Prambanan. Saat hendak menuju Surakarta, langkahnya terhenti di masjid kecil milik Pangeran Tembayat di Klaten. Cebolang dipersilahkan mampir lalu disuguhi lethok. Hidangan berbahan dasar tempe setengah busuk ini dikenal juga dengan sambal tumpang.
Kisah pengembaraan Cebolang hingga mencicipi sambal tumpang itu tertulis dalam Serat Centhini jilid 3 bait 41. Terbit tahun 1814, manuskrip setebal 3.112 halaman ini sejatinya menceritakan kehidupan Jawa pada 1600-an di era Sultan Agung Kerajaan Mataram Islam. Itu artinya, sambal tumpang diperkirakan berusia lebih dari 4 abad dan lebih tua dari Serat Centhini.
“Brambang jae santen tempe, asem sambel lethokan, gudhang tumpang,” begitu tulisan yang mendeskripsikan sambal tumpang di Serat Centhini.
Kata gudhang merujuk pada sayur-sayuran yang direbus lalu disiram sambal tumpang. Dalam penyajiannya, ia lebih berfungsi sebagai bumbu tabur atau topping. Kuah kental dari campuran santan dan tempe setengah busuk itu tidak bisa dinikmati langsung seperti halnya sup.
Dari riset yang dilakukan Kediripedia.com, masyarakat Jawa diperkirakan sudah mengenal sambal tumpang seiring kegemaran mengkonsumsi tempe, makanan dari fermentasi kedelai. Asal-usul kata tempe berasal dari bahasa Jawa Kuno, yakni tumpi yang artinya berwarna putih. Sedangkan bahan dasar tumpang disebut tempe semangit: tempe yang sudah melewati masa fermentasi ideal. Warnanya mulai kehitaman disertai bau menyengat.
Penulisan Serat Centhini digagas Pakubuwono V Kasunanan Surakarta. Selain kuliner, buku ensiklopedia Jawa ini menghimpun pengetahuan sejarah, pendidikan, geografi, agama, tasawuf, spiritual, ramalan, hingga sulap. Dalam kitab itu juga dibahas adat istiadat, ritual, etika, psikologi, flora-fauna, obat-obatan, serta kesenian.
Pada segmen kuliner, Kediripedia.com menemukan narasi bahwa sambal tumpang diuraikan sebagai makanan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Jamuan ini dihidangkan saat masyarakat menggelar hajatan pernikahan, kegiatan gotong-royong, maupun menjamu tamu seperti kisah Cebolang. Penganan tersebut juga marak diperjualbelikan saat pertunjukan wayang.
Hingga kini, penjual sambal tumpang masih banyak dijumpai di daerah-daerah yang dulunya di bawah pemerintahan Mataram Islam. Salah satunya, kawasan Kediri, Jawa Timur. Di wilayah yang terbelah arus Sungai Brantas ini, sambal tumpang dijual di warung-warung pedesaan hingga urban.
Saat malam hari, puluhan pedagang nasi tumpang berjejer di trotoar Jalan Dhoho, Kota Kediri. Para penjual mulai menjajakan kuliner tradisional ini ketika komplek pertokoan itu sudah tutup. Meja, kursi, dan beberapa lembar tikar digelar mulai jam 9 malam hingga menjelang subuh.
“Resep sambal tumpang saya pelajari dari para pendahulu,” kata Tinung, salah seorang penjual, Selasa, 19 November 2024.
Proses pembuatan sambal tumpang yang dijajakan perempuan 67 tahun itu tak berubah sejak ratusan tahun silam hingga sekarang. Bahan utamanya adalah tempe yang dibusukkan selama tiga hari.
Tempe semangit itu direbus sebanyak dua kali. Pada rebusan kedua, rempah-rempah tambahan dimasukkan. Antara lain, potongan lengkuas, kunyit, cabe kecil dan besar, daun bawang, daun jeruk, bawang merah ,bawang putih, dan santan.
Menurut Tinung, dulunya sambal tumpang hanya dihidangkan dengan aneka sayur yang direbus. Misalnya, daun bayam, singkong, pepaya, kenikir, dan irisan buah pepaya muda. Sedangkan lauknya adalah peyek, kerupuk, tahu, tempe, dan lento. Seiring zaman, hidangan pendukung ditambah. Misalnya, ayam, babat, paru, ampela, ati, telur, dan perkedel.
“Dulu wadahnya pakai piring pincuk daun pisang, tapi kini beralih menggunakan piring plastik,” kata Tinung.
Perubahan wadah sajian ini dikarenakan daun pisang yang kian jarang. Kalaupun ada, harganya mahal. Selama 20 tahun berjualan, Tinung juga mempertahan posisi penataan lapak yang diajarkan para pedagang terdahulu.
Pedagang sambal tumpang yang eksis seperti Tinung masih banyak dijumpai di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di saat kuliner tradisional lain sepi peminat bahkan terancam punah, sambal tumpang masih bertahan sejak 4 abad silam hingga sekarang. Ia tetap bertumbuh dan bersaing di era masyarakat yang mulai menggemari makanan cepat saji. (Kholisul Fatikhin, Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post